makalah GE

makalah GE

Kamis, 05 Januari 2012

KEJANG DEMAM

A.PENGERTIAN
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz & Sowden,2002).
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Jadi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.

B.ETIOLOGI
Infeksi ekstrakranial , misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

C.PATOFISIOLOGI
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.

D.MANIFESTASI KLINIK
1.Kejang parsial (fokal, lokal)
a.Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
Tanda-tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
b.Kejang parsial kompleks
Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks
Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap–ngecapkan bibir, mngunyah, gerakan menongkel yang berulang–ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2.Kejang umum (konvulsi atau non konvulsi)
a.Kejang absens
Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b.Kejang mioklonik
Kedutan–kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
Sering terlihat pada orang sehat selama tidur tetapi bila patologik berupa kedutan kedutan sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c.Kejang tonik klonik
Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
Saat tonik diikuti klonik pada ekstremitas atas dan bawah.
Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d.Kejang atonik
Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk, atau jatuh ke tanah.
Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

E.KOMPLIKASI
1.Aspirasi
2.Asfiksia
3.Retardasi mental

F.UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
1.Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2.Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3.Magnetic Resonance Imaging (MRI) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah–daerah otak yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT
4.Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau aliran darah dalam otak
5.Uji laboratorium
Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
Panel elektrolit
Skrining toksik dari serum dan urin
AGD
Kadar kalsium darah
Kadar natrium darah
Kadar magnesium darah

G.PENATALAKSANAAN MEDIS
1.Memberantas kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
2.Pengobatan penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya pengobatan penunjang
Semua pakaian ketat dibuka
Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
Penhisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
3.Pengobatan rumat
Profilaksis intermiten
Untuk mencegah kejang berulang, diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipietika. Profilaksis ini diberikan sampai kemungkinan sangat kecil anak mendapat kejang demam sederhana yaitu kira-kira sampai anak umur 4 tahun.
Profilaksis jangka panjang
Diberikan pada keadaan
Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
Kejang demam yang mempunyai ciri :
Terdapat gangguan perkembangan saraf seperti serebral palsi, retardasi perkembangan dan mikrosefali
Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau diikuti kelainan saraf yang sementara atau menetap
Riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
Kejang demam pada bayi berumur dibawah usia 1 bulan
4.Mencari dan mengobati penyebab

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEJANG DEMAM
A.Pengkajian
Pengkajian neurologik :
1.Tanda – tanda vital
Suhu
Pernapasan
Denyut jantung
Tekanan darah
Tekanan nadi
2.Hasil pemeriksaan kepala
Fontanel : menonjol, rata, cekung
Lingkar kepala : di bawah 2 tahun
Bentuk Umum
3.Reaksi pupil
Ukuran
Reaksi terhadap cahaya
Kesamaan respon
4.Tingkat kesadaran
Kewaspadaan : respon terhadap panggilan
Iritabilitas
Letargi dan rasa mengantuk
Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
5.Afek
Alam perasaan
Labilitas
6.Aktivitas kejang
Jenis
Lamanya
7.Fungsi sensoris
Reaksi terhadap nyeri
Reaksi terhadap suhu
8.Refleks
Refleks tendo superfisial
Reflek patologi
9.Kemampuan intelektual
Kemampuan menulis dan menggambar
Kemampuan membaca

B.Diagnosa keperawatan
1.Resiko tinggi cidera
2.Gangguan citra tubuh
3.Resiko tinggi koping keluarga dan koping individu tidak efektif


C.Intervensi keperawatan
1.Kejang
Lindungi anak dari cidera
Jangan mencoba untuk merestrain anak
Jika anak berdiri atau duduk sehingga terdapat kemungkinan jatuh, turunkan anak tersebut agar tidak jatuh
Jangan memasukan benda apapun ke dalam mulut anak
Longgarkan pakaiannya jika ketat
Cegah anak agar tidak terpukul benda tajam, lapisi setiap benda yang mungkin terbentur dengan anak dan singkirkan semua benda tajam dari daerah tersebut
Miringkan badan anak untuk memfasilitasi bersihan jalan nafas dari sekret
2.Lakukan observasi secara teliti dan catat aktiitas kejang untuk membantu diagnosis atau pengkajian respon pengobatan
Waktu awitan dan kejadian pemicu
Aura
Jenis kejang
Lamanya kejang
Intervensi selama kejang
Tanda tanda vital

DAFTAR PUSTAKA
1.Betz, Cecily L & Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
2.Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny R.F. Jakarta : EGC.
3.Ngastiyah.( 1997 ). Perawatan Anak Sakit Jakarta : EGC
4.Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : Gaya Baru
5.………, ( 2003 ). Kejang Pada Anak. www. Pediatrik.com/knal.php

LAPORAN PENDAHULUAN ANAK DENGAN PNEUMONIA

A. Pengertian
Menurut Engram (1998) pneumonia adalah proses inflamasi pada parenkim paru. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya invasi agen infeksius atau adanya kondisi yang mengganggu tahanan saluran trakeobrokialis sehingga flora endogen yang normal berubah menjadi patogen ketika memasuki saluran jalan nafas.
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh bakteri; merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita (Said 2007).
Sedangkan menurut Betz dan Sowden (2002) pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru yang disebabkan oleh satu atau lebih agens berikut virus, bakteri, mikoplasma dan aspirasi substansi asing.
Pneumonia atau radang paru-paru ialah inflamasi paru-paru yang disebabkan oleh bakteria, virus atau fungal (kulat). Ia juga dikenali sebagai pneumonitis, bronchopneumonia dan 'community-acquired pneumonia (Mansjoer, 2000 : 254).

B. Insidens
Said (2007) menyatakan bahwa diperkirakan 75% pneumonia pada anak balita di negara berkembang termasuk di Indonesia disebabkan oleh pneumokokus dan Hib. Di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan terjadi lebih 2 juta kematian balita karena pneumonia. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 kematian balita akibat pneumonia 5 per 1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa pneumonia menyebabkan kematian lebih dari 100.000 balita setiap tahun, atau hampir 300 balita setiap hari, atau 1 balita setiap 5 menit.
Menunjuk angka-angka di atas bisa dimengerti para ahli menyebut pneumonia sebagai The Forgotten Pandemic atau "wabah raya yang terlupakan" karena begitu banyak korban yang meninggal karena pneumonia tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia. Tidak heran bila melihat kontribusinya yang besar terhadap kematian balita pneumonia dikenal juga sebagai "pembunuh balita nomor satu".
Senada dengan Said, Betz dan Sowden (2002) menyatakan bahwa insidens dari pneumonia antara lain :
1. Pneumonia virus lebih sering dijumpai daripada pneumonia bakterial
2. Pneumonia streptokokus paling sering terdapat pada 2 tahun pertama kehidupan. Pada 30 % anak dengan pneumonia yang berusia kurang dari 3 bulan dan pada 70 % anak dengan pneumonia yang berusia kurang dari 1 tahun.
3. Pneumonia pneumokokus mencakup 90 % dari semua pneumonia.
4. Mikoplasma jarang menimbulkan pneumonia pada anak yang berusia 5 tahun, mereka berhubungan dengan 20 % kasus pneumonia yang di diagnosis pada pasien antara umur 16 dan 19 tahun.
5. Pneumonia akan terjadi lebih berat dan lebih sering pada bayi dan anak-anak kecil
6. Virus sinsisium respiratori merupakan penyebab terbesar dari kasus pneumonia virus.
7. Infeksi virus saluran nafas atas adalah penyebab kematian kedua pada bayi dan anak kecil.
8. Pneumonia mikoplasma mencakup 10 sampai 20 % pneumonia yang dirawat di rumah sakit.



C. Klasifikasi
Pneumonia dikelompokkan berdasarkan sejumlah sistem yang berlainan. Salah satu diantaranya adalah berdasarkan cara diperolehnya, dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu "community-acquired" (diperoleh diluar institusi kesehatan) dan "hospital-acquired" (diperoleh di rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya).
Pneumonia yang didapat diluar institusi kesehatan paling sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae. Pneumonia yang didapat di rumah sakit cenderung bersifat lebih serius karena pada saat menjalani perawatan di rumah sakit, sistem pertahanan tubuh penderita untuk melawan infeksi seringkali terganggu. Selain itu, kemungkinannya terjadinya infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik adalah lebih besar (www.sehatgroup.web.id).
Secara klinis, pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain. Secara morfologis pneumonia dikenal sebagai berikut:
1. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau “ganda”.
2. Bronkopneumonia, terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis.
3. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.
Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, virus, atipikal (mukoplasma), bakteri, atau aspirasi substansi asing. Pneumonia jarang terjadi yang mingkin terjadi karena histomikosis, kokidiomikosis, dan jamur lain.
1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakterial. Terlihat pada anak dari semua kelompok umur, sering dikaitkan dengan ISPA virus, dan jumlah RSV untuk persentase terbesar. Dapat akut atau berat. Gejalanya bervariasi, dari ringan seperti demam ringan, batuk sedikit, dan malaise. Berat dapat berupa demam tinggi, batuk parah, prostasi. Batuk biasanya bersifat tidak produktif pada awal penyakit. Sedikit mengi atau krekels terdengar auskultasi.
2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi terutama di musim gugur dan musim dingin, lebih menonjol di tempat dengan konsidi hidup yang padat penduduk. Mungkin tiba-tiba atau berat. Gejala sistemik umum seperti demam, mengigil (pada anak yang lebih besar), sakit kepala, malaise, anoreksia, mialgia. Yang diikuti dengan rinitis, sakit tenggorokan, batuk kering, keras. Pada awalnya batuk bersifat tidak produktif, kemudian bersputum seromukoid, sampai mukopurulen atau bercak darah. Krekels krepitasi halus di berbagai area paru.
3. Pneumonia bakterial, meliputi pneumokokus, stafilokokus, dan pneumonia streptokokus, manifestasi klinis berbeda dari tipe pneumonia lain, mikro-organisme individual menghasilkan gambaran klinis yang berbeda. Awitannya tiba-tiba, biasanya didahului dengan infeksi virus, toksik, tampilan menderita sakit yang akut , demam, malaise, pernafasan cepat dan dangkal, batuk, nyeri dada sering diperberat dengan nafas dalam, nyeri dapat menyebar ke abdomen, menggigil, meningismus.
Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia, pneumonia dapat diklasifikasikan:
1. Usia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang dilihat dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah.
b. Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu pada usia 2 bulan – 1 tahun frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih, dan pada usia 1-5 tahun 40 x/menit atau lebih.
c. Bukan pneumonia, ditandai secara klinis oleh batuk pilek biasa dapat disertai dengan demam, tetapi tanpa terikan dinding dada bagian bawah dan tanpa adanya nafas cepat.

2. Usia 0 – 2 bulan
a. Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat yaitu frekuensi nafas 60 x/menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.
Menurut Depkes RI (2002) klasifikasi pneumonia menurut program P2 ISPA antara lain :
1. Pneumonia sangat berat
Ditandai dengan sianosis sentral dan tidak dapat minum.
2. Pneumonia berat
Ditandai dengan penarikan dinding dada, tanpa sianosis dan dapat minum.
3. Pneumonia sedang
Ditandai dengan tidak ada penarikan dinding dada dan pernafasan cepat.
Klasifikasi pneumonia atas dasar anatomis dan etiologis, antara lain :
1. Pembagian anatomis
a. Pneumonia lobaris
b. Pneumonia lobularis (bronchopneumonia)
c. Pneumonia interstitialis (brochitis)
2. Pembagian etiologis
a. Bakteria : diplococcus pneumoniae, pneumococcus, streptococcus nerus, dll
b. Virus : respiratory syncytial virus, virus influensa, adenovirus, dll
c. Mycoplasma pneumonia
d. Jamur : aspergillus species, candida albicans, dll
e. Aspirasi : karosen, makanan, cairan amnion, benda asing
f. Pneumonia hipostatik
g. Sindrom loeffler


D. Etiologi
Penyebab pneumonia antara lain :
1. Bakteri (paling sering menyebabkan pneumonia pada dewasa) yakni Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Legionella, dan Hemophilus influenzae.
2. Virus : virus influenza, chicken-pox (cacar air)
3. Organisme mirip bakteri : Mycoplasma pneumoniae (terutama pada anak-anak dan dewasa muda)
4. Jamur tertentu.
Pneumonia juga bisa terjadi setelah pembedahan (terutama pembedahan perut) atau cedera (terutama cedera dada), sebagai akibat dari dangkalnya pernafasan, gangguan terhadap kemampuan batuk dan lendir yang tertahan. Yang sering menjadi penyebabnya adalah Staphylococcus aureus, pneumokokus, Hemophilus influenzae atau kombinasi ketiganya.
Pneumonia pada orang dewasa paling sering disebabkan oleh bakteri, yang tersering yaitu bakteri Streptococcus pneumoniae pneumococcus. Pneumonia pada anak-anak paling sering disebabkan oleh virus pernafasan, dan puncaknya terjadi pada umur 2-3 tahun. Pada usia sekolah, pneumonia paling sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma pneumoniae (www.sehatgroup.we.id).

E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang biasa ditemukan adalah:
1. Batuk berdahak (dahaknya seperti lendir, kehijauan atau seperti nanah)
2. Nyeri dada (bisa tajam atau tumpul dan bertambah hebat jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk)
3. Menggigil
4. Demam
5. Mudah merasa lelah
6. Sesak nafas
7. Sakit kepala
8. Nafsu makan berkurang
9. Mual dan muntah
10. Merasa tidak enak badan
11. Kekakuan sendi
12. Kekakuan otot.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan antara lain kulit lembab, batuk darah, pernafasan yang cepat, cemas, stress, tegang dan nyeri perut (www.sehatgroup.we.id).

F. Patofisiologi
Proses pneumonia mempengaruhi ventilasi. Setelah agen penyebab mencapai alveoli, reaksi inflamasi akan terjadi dan mengakibatkan ektravasasi cairan serosa ke dalam alveoli. Adanya eksudat tersebut memberikan media bagi pertumbuhan bakteri. Membran kapiler alveoli menjadi tersumbat sehingga menghambat aliran oksigen ke dalam perialveolar kapiler di bagian paru yang terkena dan akhirnya terjadi hipoksemia (Engram 1998).

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Betz dan Sowden (2002) dapat dilakukan antara lain :
1. Kajian foto thorak– diagnostic, digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status pulmoner (untuk mengkaji perubahan pada paru)
2. Nilai analisa gas darah, untuk mengevaluasi status kardiopulmoner sehubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dengan hitung jenis untuk menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram (darah) untuk seleksi awal antimikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin– mengesampingkan kemungkinan TB jika anak tidak berespons terhadap pengobatan
6. Jumlah leukosit– leukositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru, digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan luas dan beratnya penyakit dan membantu mendiagnosis keadaan
8. Spirometri statik, digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah – spesimen darah untuk menetapkan agens penyebabnya seperti virus dan bakteri
10. Kultur cairan pleura– spesimen cairan dari rongga pleura untuk menetapkan agens penyebab seperti bakteri dan virus
11. Bronkoskopi, digunakan untuk melihat dan memanipulasi cabang-cabang utama dari pohon trakeobronkhial; jaringan yang diambil untuk diuji diagnostik, secara terapeutik digunakan untuk menetapkan dan mengangkat benda asing.
12. Biopsi paru– selama torakotomi, jaringan paru dieksisi untuk melakukan kajian diagnostik.
Sedangkan menurut Engram (1998) pemeriksaan penunjang meliputi
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Leukosit, umumnya pneumonia bakteri didapatkan leukositosis dengan predominan polimorfonuklear. Leukopenia menunjukkan prognosis yang buruk.
b. Cairan pleura, eksudat dengan sel polimorfonuklear 300-100.000/mm. Protein di atas 2,5 g/dl dan glukosa relatif lebih rendah dari glukosa darah.
c. Titer antistreptolisin serum, pada infeksi streptokokus meningkat dan dapat menyokong diagnosa.
d. Kadang ditemukan anemia ringan atau berat.
2. Pemeriksaan mikrobiologik
a. Spesimen: usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum darah, aspirasi trachea fungsi pleura, aspirasi paru.
b. Diagnosa definitif jika kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru.
3. Pemeriksaan imunologis
a. Sebagai upaya untuk mendiagnosis dengan cepat
b. Mendeteksi baik antigen maupun antigen spesifik terhadap kuman penyebab.
c. Spesimen: darah atau urin.
d. Tekniknya antara lain: Conunter Immunoe Lectrophorosis, ELISA, latex agglutination, atau latex coagulation.
4. Pemeriksaan radiologis, gambaran radiologis berbeda-beda untuk tiap mikroorganisme penyebab pneumonia.
a. Pneumonia pneumokokus: gambaran radiologiknya bervariasi dari infiltrasi ringan sampai bercak-bercak konsolidasi merata (bronkopneumonia) kedua lapangan paru atau konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Bayi dan anak-anak gambaran konsolidasi lobus jarang ditemukan.
b. Pneumonia streptokokus, gambagan radiologik menunjukkan bronkopneumonia difus atau infiltrate interstisialis. Sering disertai efudi pleura yang berat, kadang terdapat adenopati hilus.
c. Pneumonia stapilokokus, gambaran radiologiknya tidak khas pada permulaan penyakit. Infiltrat mula=mula berupa bercak-bercak, kemudian memadat dan mengenai keseluruhan lobus atau hemithoraks. Perpadatan hemithoraks umumhya penekanan (65%), < 20% mengenai kedua paru.

H. Komplikasi
Menurut Engram (1998) dan Betz dan Sowden (2002) komplikasi yang sering terjadi menyertai pneumonia adalah abses paru, efusi pleural, empiema, gagal nafas, perikarditis, meningitis, pneumonia interstitial menahun, atelektasis segmental atau lobar kronik, atelektasis persiten, rusaknya jalan nafas, kalsifikasi paru, fibrosis paru, bronkitis obliteratif dan bronkiolitis.
Pada pasien usia lanjut usia risiko terjadinya komplikasi tinggi sebab struktur sistem pulmonal telah berubah karena proses penuaan (komplain jaringan paru menurun, kemampuan batuk efektif menurun dan kemampuan ekspansi paru menurun sebagai akibat dari kalsifikasi kartilago vertebra.

I. Penatalaksanaan Medis
Kepada penderita yang penyakitnya tidak terlalu berat, bisa diberikan antibiotik per-oral (lewat mulut) dan tetap tinggal di rumah. Penderita yang lebih tua dan penderita dengan sesak nafas atau dengan penyakit jantung atau paru-paru lainnya, harus dirawat dan antibiotik diberikan melalui infus. Mungkin perlu diberikan oksigen tambahan, cairan intravena dan alat bantu nafas mekanik. Kebanyakan penderita akan memberikan respon terhadap pengobatan dan keadaannya membaik dalam waktu 2 minggu (www.sehatgroup.we.id).
Engram (1998) menyatakan bahwa penatalaksanaan medis umum terdiri dari
1. Farmakoterapi : antibiotik (diberikan secara intravena), ekspektoran, antipiretik dan analgetik.
2. Terapi oksigen dan nebulisasi aerosol
3. Fisioterapi dada dengan drainage postural.
Dalam melakukan terapi pada penderita pneumonia, yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Perhatikan hidrasi.
2. Berikan cairan i.v sekaligus antibiotika bila oral tidak memungkinkan.
3. Perhatikan volume cairan agar tidak ada kelebihan cairan karena seleksi ADH juga akan berlebihan.
4. Setelah hidrasi cukup, turunkan ccairan i.v 50-60% sesuai kebutuhan.
5. Disstres respirasi diatasi dengan oksidasi, konsentrasi tergantung dengan keadaan klinis pengukuran pulse oksimetri.
6. Pengobatan antibiotik:
a. Penisillin dan derivatnya. Biasanya penisilin S IV 50.000 unit/kg/hari atau penisilil prokain i.m 600.000 V/kali/hari atau amphisilin 1000 mg/kgBB/hari . Lama terapi 7 – 10 hari untuk kasus yang tidak terjadi komplikasi.
b. Amoksisillin atau amoksisillin plus ampisillin. Untuk yang resisten terhadap ampisillin.
c. Kombinasi flukosasillin dan gentamisin atau sefalospirin generasi ketiga, misal sefatoksim.
d. Kloramfenikol atau sefalosporin. H. Influensa, Klebsiella, P. Aeruginosa umumnya resisten terhadap ampisillin dan derivatnya. Dapat diberi kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari aatu sefalosporin.
e. Golongan makrolit seperti eritromisin atau roksittromisin. Untuk pneumonia karena M. Pneumoniae. Roksitromisin mempenetrasi jaringan lebih baik dengan rasio konsentrasi antibiotik di jaringan dibanding plasma lebih tinggi. Dosis 2 kali sehari meningkatkan compliance dan efficacy.
f. Klaritromisin. Punya aktivitas 10 kali erirtomisin terhadap C. pneumonie in vitro dan mempenetrasi jaringan lebih baik.

J. Pencegahan
Untuk orang-orang yang rentan terhadap pneumonia, latihan bernafas dalam dan terapi untuk membuang dahak, bisa membantu mencegah terjadinya pneumonia (www.sehatgroup.we.id). Vaksinasi bisa membantu mencegah beberapa jenis pneumonia pada anak-anak dan orang dewasa yang beresiko tinggi yakni :
1. Vaksin pneumokokus (untuk mencegah pneumonia karena Streptococcus pneumoniae)
2. Vaksin flu
3. Vaksin Hib (untuk mencegah pneumonia karena Haemophilus influenzae type b).
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis dalam pemberantasan pneumonia pada anak; terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan upaya pencegahan non-imunisasi. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang meliputi imunisasi DPT dan campak yang telah dilaksanakan pemerintah selama ini dapat menurunkan proporsi kematian balita akibat pneumonia. Hal ini dapat dimengerti karena campak, pertusis dan juga difteri bisa juga menyebabkan pneumonia atau merupakan penyakit penyerta pada pneumonia balita.
Di samping itu, sekarang telah tersedia vaksin Hib dan vaksin pneumokokus konjugat untuk pencegahan terhadap infeksi bakteri penyebab pneumonia dan penyakit berat lain seperti meningitis. Namun vaksin ini belum masuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Pemerintah.
Yang tidak kalah penting sebenarnya adalah upaya pencegahan non-imunisasi yang meliputi pemberian ASI eksklusif, pemberian nutrisi yang baik, penghindaran pajanan asap rokok, asap dapur dIl; perbaikan lingkungan hidup dan sikap hidup sehat; yang kesemuanya itu dapat menghindarkan terhadap risiko terinfeksi penyakit menular termasuk penghindaran terhadap pneumonia (Said 2007).

K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
Menurut Betz dan Sowden (2002) pengkajian keperawatan pada pneumonia meliputi :
a. Kaji kepatenan jalan nafas
b. Kaji tanda-tanda gawat pernafasan dan respons terhadap terapi oksigen
c. Kaji respons anak terhadap pengobatan
d. Kaji kemampuan keluarga untuk penatalaksanakan program pengobatan di rumah
Pengkajian keperawatan :
a. Riwayat pasien : panas, batuk, perubahan pola makan, kelemahan, penyakit respirasi sebelumnya, perawatan di rumah, penyakit lain yang diderita anggota keluarga di rumah.
b. Pemeriksaan fisik : demam, dispneu, takipneu, sianosis, penggunaan otot pernafasan tambahan, suara nafas tambahan, rales, ronki, kenaikan sel darah putih (bakteri pneumonia), arterial blood gas, x-ray dada.
c. Psikososial dan faktor perkembangan : usia, tingkat perkembangan, kemampuan memahami rasionalisasi intervensi, pengalaman berpisah dengan orang tua, mekanisme koping yang dipakai sebelumnya, kebiasaan (pengalaman yang tidak menyenangkan, waktu tidur/rutinitas pemberian pola makan, obyek favorit).
d. Pengetahuan pasien dan keluarga : pengalaman dengan penyakit pernafasan, pemahaman akan kebutuhan intervensi pada distress pernafasan, tingkat pengetahuan, kesia dan keinginan untuk belajar.

















Pathway













Sumber : NANDA 2005

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul berdasarkan pathway :
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi kapiler alveolar
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan lelelahan otot pernafasan.
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
d. Risiko infeksi berhubungan dengan factor resiko prosedur invasif
e. Resiko aspirasi berhubungan dengan factor resiko situasi yang menghambat







3. Rencana asuhan keperawatan
No. Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1 Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbanagn perfusi kapiler alveolar 1. Respiratory status : gas excage
2. Respiratory status : ventilation
3. Vital sign status Airway management
1. Buka jalan nafas, gunakan tekhnik chin lift atau jaw thust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
Respiratory monitoring
1. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
2. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supravasikular dan intercostalis
3. Monitor suara nafas seperti dengkur
4. Monitor pola nafas, bradipnea, takipnea, kussmaul, hyperventilasi, cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot diafragma (gerakan paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles danronkhi pada jalan nafas utama
9. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
2 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan lelelahan otot pernafasan 1. Respiratory status : ventilation
2. Respiratory status : airway potency
3. Aspiration control Airway management
1. Buka jalan nafas, gunakan tekhnik chin lift atau jaw thust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
Oxygen therapi
1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama dan setelah beraktifitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernafasan abnormal
10. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya chusing triad (TD yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas 1. Respiratory status : ventilation
2. Respiratiory status : airway potency
3. Aspiration control Airway suction
1. Pastikan kebutuhan oral / trakhel suctioning
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang suctioning
4. Minta pasien nafas dalam sebelum suction dilakukan
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction nasotrakeal
6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
8. Monitor status oksigen pasien
9. Ajarkan bagaimana cara melakukan suction
10. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan badikardi, peningkatan saturasi O2 dll
Airway management
1. Buka jalan nafas, gunakan trkhnik chinleft atau jaw trush bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
4. Resiko infeksi berhubungan dengan factor resiko prosedur invasif.
1. Immune status
2. Knowledge : infection control
3. Risk control Kontrol Infeksi:
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh klien
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah meninggalkan ruangan klien
8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
9. Lakukan universal precautions
10. Gunakan sarung tangan steril
11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV dan insersi cateter
12. Tingkatkan asupan nutrisi
13. Anjurkan asupan cairan
14. Anjurkan istirahat
15. Berikan terapi antibiotik (kolaborasi)
16. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari infeksi. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi
Proteksi Terhadap Infeksi :
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2. Monitor hitung granulosit WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Pertahankan tekhnik aseptik pada pasien yang beresiko
7. Pertahankan tekhnik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kulit pada are epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase
10. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat cukup
14. Ajarkan keluarga tanda dan gejala infeksi
15. Laporkan kecurigaan infeksi
16. Laporkan kultur positif
5 Resiko aspirasi berhubungan dengan factor resiko situasi yang menghambat
1. Respiratory status : ventilation
2. Aspiration control
3. Swallowing status Aspiration precaution
1. Monitor tingkat kesadaran, refleks batuk dan kemampuan menelan
2. Monitor status paru
3. Pelihara jalan nafas
4. Lakukan suction jika diperlukan
5. Cek nasogastrik sebelum makan
6. Hindari amkan jika residu masih banyak
7. Potong makanan kecil-kecil
8. Haluskan obat sebelum pemberian
9. Naikkan kepala 30 – 40 derajat setelah makan







DAFTAR PUSTAKA

Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.

Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta.

Doenges, Marilynn, E., 2002, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.

Engram, B 1998, Rencana asuhan keperawatan medikal bedah, Volume 1, EGC, Jakarta.

Hidayat, A. A., 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Salemba Medika, Jakarta.

Iqbal, 2007, Sistem Pernafasan dan Penyakitnya, Artikel diakses dari www.sehatgroup.com

Mansjoer, Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI, Jakarta.

NANDA 2005, Nursing diagnoses : Definition and classification 2005-2006, NANDA International, Philadelphia.

Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Sacharin, R. M., 2000, Prinsip Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta.

Said, M 2007, Pneumonia penyebab utama mortalitas anak balita di indonesia, Retrieved December 7, from http://www.idai.or.id.htm.

Wilkinson, J. W 2006, Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria hasil NOC, Edisi 7, EGC, Jakarta.

Minggu, 15 Mei 2011

SEKSIO SESARIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah
Pada awalnya,seksio sesaria dikembangankan sebagai salah satu metode modern dibidang kedokteran untuk membantu menurunkan angka kematian ibu akibat melahirkan. Menurut literature sejarah,tindakan operasi sesaria dilakukan untuk menolong kelahiran seorang bayi laki-laki yang dikemudian hari menjadi kaisar Roma yang dikenal,yaitu Julius Caesar. Jadi,operasi sesaria sudah terkenal sejak jaman Julius Caesar. Sementara itu,pendapat lain menyebutkan pada tahun 700 sebelum Masehi,ketika kekaisaran Roma berada dibawah kekuasaan Numa pompelius,setiap wanita yang meninggal dalam persalinan disebabkan melahirkan bayi melalui sayatan pada perutnya.
Namun dalam sejarah kedokteran,seksio sesaria baru disebut sebagai cara untuk melahirkan bayi setelah tahun masehi (tepatnya tahun 1794),yaitu ketika seorang dokter divirginia Amerika Serikat melakukan operasi pada istrinya. Saat itu,sejarah kedokteran Amerika mencatat hanya sekitar 10% wanita yang dapat hidup setelah persalinan dengan opersi. Hal ini disebabkan prosedur operasi yang belum dapat menjamin keselamatan ibu akibat peralatan operasi yang tidak steril,efek obat bius,antibiotic,teknik pembedahan,perdarahan,pemantauan pascaoperasi,manejemen,serta control rasa sakit yang belum ada,
B. Perkembangan Seksio Sesaria di Indonesia
Angka persalianan dengan menggunakan seksio sesaria cukup tinggi terjadi dindonesia. Apalagi,sebagian diantaranya dilakuakan tanpa pertimbangan medis.
Beberapa alasan yang mendasarikecenderungan melahirkan dengan operasi semakin meningkat (terutama dikota-kota besar). Alas an paling banyak adalah anggapan yang salah bahwa dengan opersi,ibu tudak akan mengalami rasa sakit seperti halnya pada persalinan alami. Hal ini terjadi karena kekhawatiran atau kecemasan menghadapi rasa sakit yang akan terjadi pada persalianan alami. Memng pada persalinan dengan seksio yang direncanakan,baik karena pertimbangan medis maupun tidak,ibu tidak akan merasakan saat-saat kontraksi sebelum persalinan. Kontraksi merupakan keadaan kejang otot rahim atau pengerutan otot rahim sehingga menjadi lebih pendekn untuk merangsang pembukaan rahim yang lebih lebar untuk persiapan persalinan alami. Sebagian besar wanita yang telah melahirkan ,pada saat kontraksi mereka merasakan rasa sakit yang luar biasa. Saat-saat ininlah yang sangat sering menakutkan sebagian wanita yang akan melahirkan sehingaga banyak diantaranya yang memutuskan lebih baik melahirkan dengan seksio sesaria.
Melihat kecenderungan yang ada diindonesia ,tidak mengherankan apabila kemudian pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia(IDI)bersama pemerintah(Departemen kesehatan dan Departemen kesejahteraan social)melakukan pemantauan terhadap tindakan persalinan dengan seksio sesaria. Menurut ketua umum PB IDI Prof.Dr.dr.M.Ahmad Djojosugito,MHA,dalam harian kompas,22 januari 2001,dokter yang melakukan seksio tanpa indikasi medis yang kuat akan diberi sanksi profesi.
Sebelumnya,berabgai upaya menurunkan angaka persalian seksio sesaria sudah dilakuakan. Misalnaya,surat edaran direktorat jenderal pelayanan medik(Dirjen Yanmedik)Depkes RI tanggal 12 september 2000,menyatakan bahwa angka kelahiran seksio untuk rumah sakit pendidikan atau rujukan provinsi,ditargetkan turun menjadi 20%,sedangkan untuk rumah sakit swasta 15%.
Namun tidak sedikit pula persalinan seksio tersebut dilakukan karena kondisi ibu maupun janin tidak memungkinkan untuk melahirkan secara alami. Apalagi biaya yang harus dikeluarkan jika melakukan seksio sesaria ini tidak kecil,meskipun dengan alas an apapun,orang denagn ekonomi menengah kebawah lebih memilih melahirkan bayi secara alami.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SEKSIO SESARIA
A. Pengertian
Section Caesar menurut Leon J.Dunn,dalam buku Obstetrics dan Gynecology,menyebutkan sebagai cesarean section. Dalam bukunya dia mengartikan sebagai persalinan untuk melahirkan janin dengan berat 500gram atau lebih,melalui pembedahan diperut dengan menyayat dinding rahim.
Istilah Caesar sendiri berasal dari bahasa latin caedere yang artinya memotong atau menyayat.tindakan tersebut bertujuan untuk melahirkan bayi melalui tindakan pembedahan dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. Menurut sejarah section sesaria,bayi terpaksa dilahirkan melalui cara ini apabila perasalinan alami sudah dianggap tidak efektif.
B. Manfaat dan Kegunaan Section Sesaria
• Seksio digunakan untuk mengakhiri kehamilan tau persalinan bila tak memungkinkan melakukan persalinan pervagina.
• Seksio untuk kepentingan fetus bisa dilakukan sebelum mulainya persalinan,karena insufisiensi plasenta.
• Seksio dibenarkan pada keadaan ini jika keadaan serviks tak akan memungkinkan induksi persalinan.
• Pada seksio dengan cara sayatan melintang mempunyai keuntungan yaitu perut pada rahim kuat sehingga cukup kecil risiko menderita ruptute uteri(robekan rahim)dikemudian hari.
C. Teknik Operasi
Teknik yang tersedia untuk seksio abdominalis sebagi berikut:
 Seksio Sesaria servikalis Rendah intra peritoneal
Dalam tindakan ini,insisi uterus dibuat pada segmen bawah. Tempat ini mempunyai keuntungan bahwa insisi tidak melibatkan korpus uteri sehingga kurang membahayakan lagi kehamilan berikutnya,bahkan memungkinkan persalinan per vagina,karena kurang mungkin terjadi rupture jaringan perut.
Rangkaian teknik operasi meliputi hal berikut ini:
1. Membuka dinding abdomen
2. Mengupas kandung kemih
3. Memasuki segmen bawah uterus
4. Melahirkan fetus dan plasenta
5. Menutup uterus
6. Memperbaiki dinding abdomen
Biasanya dinding abdomen dimasuki dengan insisi transversa suprapubik. Insisi longitudinalis hanya dibenarkan bila akan dilakukan seksio yang cepat(muth),pada wanita yang sangat gemuk dan pada kasus-kasus dalam manadiketahui diperlukan eksplorasi abdominalis atas dalam tahap selanjutnya.
Segmen bawah uterus dibuka skalpel dalam insisi transversa kecil melengkung.ia tidak boleh ditempatkan terlalu rendah,terutama pada seksio sesaria ulangan pada retraksi segmen bawah. Jika,insisi terlalu rendah maka jahitan lainnya didalam uterus akan terletak terlalu jauh keatas belakang simfisis. Insisi uterus diperlebarsecara tumpul dengan dua jari telunjuk. Kemudian selaput ketuban dipecahkan. Jika ditemui jaringan plasenta maka ia didorong kesisi secara tumpul. Cairan amnion dan darah dibersihkan.
Untuk melhirkan fetus bagian belakang kepala diputar secara manual dan dipasang mangkok vakum ukuran sedang untuk mencekapnya. Teknik ini telah tahan teruji,dibandingkan dengan cara manual untuk mengelevasi kepala,teknik ini kurang memerlukan ruangan sehingga mengurangi kemungkinan robekan kepembuluh darah uterus lateralis. Cara melahirkan lainnya melalui forseps atau spons-berperforasi sellheim.pada persentasi bokong atau letak lintang,bokong atau tangkai anterior yang terekstraksi dapat digunakan untuk persalinan. Dalam persentasi bokong sempurna,juga dapat dipaki mangkok vakum,tetapi digunakan yang kecil(diameter30cm).setelah bayi lahir diberikan uterotonikum.
 Seksio sesaria klasik
Dalam teknin ini,insisi uterus dibuat menurut panjangnya korpus.karena meningkatnya risiko rupture dalam kehamilan berikutnya maka operasi ini jarang dilakukan. Kerugian yang lainnya berupa adanya kesukaran dalam peritonialis.
Saat ini hanya ada dua indikasi untuk seksio klasik:
1. seksio dikerjakan dengan histerektomi
2. plasenta previa,untuk menghindari tempat plasenta yang telah ditentukan sebelumnya dengan sonografi,terutama bila seksio dilakukan bersama reencana sterillisasi tuba.
 Seksio ekstraperitoneum
Metode ini disempurnakan oleh A.Doderlein,Frank,Kustner,Latzko dan Selheim. Tujuannya untuk melindungi kavitas peritonei dan infeksi. Penggunaannya terutama direkomendasikan untuk gravida yang terinfeksi.
Setelah dinding dan fasia abdomen diinsisikan,muskulus rektus dipisahkan. Terlihat kubah vesika urinaria dan plika vesikouterina. Vesika urinaria diretraksikan kearah bawah sementara lipatan peritoneum dipotong kearah kepala untuk memaparkan segmen bawah uterus. Jadi sekarang uterus dapat dibuka secara ekstraperitoneum.
 Teknik porro
Operasi porro meliputi suatu seksio yang diikuti oleh histerektomi supravagina. Untuk maksud kelayakan,uterus dibuka dengan insisi klasik. Setelah bayi dilahirkan uterus ditutup dengan forseps pencekap yang besar. Plasenta dibiarkan saja dan uterus diangkat keluar abdomen. Dilakukan amputasi supraservikal dalam cara standar.
Hesterektomi supravagina setelah seksio bisa dilakukan jika diperlukan opersai ekstripasitetapi keadaan pasien tak stabil;contohnya pada gravida yang syok karena rupture uterus.
 Histerektomi Sesaria
Berebeda dengan teknik porro,histerektomi memerlukan perluasan operasi untuk mengangkat tunggul serviks. Ia dilakukan tepat sama seperti melakukan untuk indikasi ginekologi. Pengupasan lapisan jaringan dipermudah oleh keadaan hamil.umumnya peningkatan pendarahan tidak menimbulkan kesukaran teknis apapun.
 Sesaria bersama Sterillisasi
Ahki kandungan semakin dihadapkan dengan kebutuhan mengkombinasikan sterillisasi dengan seksio sesaria.. contoh indikasinya meliputi kebutuhan menghindari kehamilan dimasa yang akan datang karena malformasi fetus yang berulang,penyembuhan uterus yang buruk,prnyakit kronik pada ibu atau multiparitas saja pada wanita yang tak dapat mentoleransi metode kontrasepsi.
D. Teknik Perawatan pascaoperasi
Setelah dari ruang operasi,pasien akan dibawa keruang pemulihan. Diruang ini,sebagai pemeriksa akan dilakukan,meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,sirkulasi pernapasan,tekanan darah,suhu tubuh,jumlah urin yang tertampung dikantong urin dan jumlah darah dalam tubuh. Ini untuk memastikan tidak ditemukan gumpalan darah yang abnormal atau pendarahan yang berlebihan. Kondisi rahim (uterus) dan leher rahim (serviks) juga akan diperiksa untuk memastikan bahwa keduanya dalam kondisi normal. Selain itu,memantau keadaan emosional secara umum.
Semua pemantauan ini untuk mengetahui kesehatan ibu dan bayinya. Ketidaknormalan tau gangguan kesehatan tubuh dapat diketahui melalui tanda-tanda tubuh yang muncul,apakah ibunya dapat menyusui bayinya atau tidak. Oleh karena itu,pemeriksaan dan monitoring kan dilakukan beberapa kali sampai tubuh ibu dinyatakan dalam keadaan sehat. Biasanya ,pemeriksaan akan dilakukan setiap empat jam sekali pada hari pertama dan kedua,dan dua kali sekali pada hari ketiga sampai pada saatnya pulang kembali kerumah.
Setelah opersi,ibu juga tidak bisa langsung makan atau minum. Kedua hal tersebut baru boleh dilakukan,jika fungsi organ pencernaan sudah kembali normal. Umumnya,fungsi gastrointesial(organ pencernaan) akan kembali normal 12 jam setel;ah operasi. Awalnya,pasien dapat diberikan diet secara sedikit demi sedikit,baru kemudian makanan padat beberapa saat kemudian.
Bagaimana keadaan setelah oeprasi dan bagaimana operasi berlangsung,ibu perlu mengetahuinya. Hal-hal ini bisa langsung ditanyakan pada dokter dan tenaga medis lainnya. Kalau tidak memungkinkan,misalkan karena operasinya dengan bius total,paling tidak suami atau anggota keluarganyaperlu mengetahui keadaan ibu dan bayinya. Untuk itu,ibu dan pasangan mengetahui hal-hal yang perlu dipertanyakan ,seperti berikut ini:
• Waktu bayi dilahirkan,jenis kelamin,panjang dan berat badan,serta keadaan bayi pada umumnya.
• Apakah terjadi sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan tubuh maupun fungsi organ reproduksi ibu.
• Apakah ada risiko fungsi organ reproduksi,kehamilan dan persalinan yang akan datang sehubungan dengan opersi yang akan dilakukan.
• Bagaimana rencana perawatan kesehatan dan perkiraan waktu pasien dapat pulang kerumah
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dewasa ini,seksio sesaria bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Apalagi operasi Caesar tidak diidentikan dengan danya kelainan dan gangguan pada saat persalinan,misalnya plasenta previa,bayi letak lintang tau terlilit talipusat,walupun dalam sejarahnya dilakukan karena pertimbangan medis untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Beberapa ibu hamil menginginkan kelahiran dengan cara operasi untuk menghindari rasa sakit yang harus dilaluinya apabilapersalinannya berlangsung alami. Walaupun risiko persalinan dengan opersi lebih besar dibandingkan dengan persalinan secara alami,tetapi dengan teknologi kedokteran yang sudah maju dapat mengurangi risiko yang terjadi.
Salah satu hal yang perlu diketahui adalah operasi Caesar selalu dilakukan dengan pembiusan,baik regional maupun total. Pilihan pembiusan ini sangat tergantung pada penyebab tau hambatan persalinannya,kondisi ibu dan Dokter.
C. Saran dan Kritik
Jika memutuskan opersi tanpa pertimbangan medis,kemungkinan akan kehilangan beberapa momen penting dalam kehidupan yang biasa dilalui jika persalinan dilakukan secara alami. Pertama ,ibu hamil akan merasakan”nikmatnya”tahapan-tahapan kelahiran bayi sejak kontraksi sampai bayi lahir yang pada beberapa orang akan menyakitkan,tetapi akan menguap begitu melihat sikecil lahir sempurna. Kedua,karena proses pembiusan,terutama pabila bius total,ibu akan kehilangan saat-saat pertama melihat sikecil kedunia.
DAFTAR PUSTAKA
Kasdu ,dini. Operasi Caesar masalah dan solusinya.2003.jakarta. puspa swara.
www.Google.Co.id

ASKEP MENINGITIS

Defenisi
Meningitis adalah radang dari selaput otak (arachnoid dan piamater). Bakteri dan virus merupakan penyebab utama dari meningitis.

Patofisiologi
Otak dilapisi oleh tiga lapisan, yaitu : duramater, arachnoid, dan piamater. Cairan otak dihasilkan di dalam pleksus choroid ventrikel bergerak / mengalir melalui sub arachnoid dalam sistem ventrikuler dan seluruh otak dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jari-jari di dalam lapisan subarachnoid.
Organisme (virus / bakteri) yang dapat menyebabkan meningitis, memasuki cairan otak melaui aliran darah di dalam pembuluh darah otak. Cairan hidung (sekret hidung) atau sekret telinga yang disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan langsung antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat berjalan ke cairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan ventrikel. Eksudat yang dibentuk akan menyebar, baik ke kranial maupun ke saraf spinal yang dapat menyebabkan kemunduran neurologis selanjutnya, dan eksudat ini dapat menyebabkan sumbatan aliran normal cairan otak dan dapat menyebabkan hydrocephalus.

Etiologi
Meningitis disebabkan oleh berbagai macam organisme, tetapi kebanyakan pasien dengan meningitis mempunyai faktor predisposisi seperti fraktur tulang tengkorak, infeksi, operasi otak atau sum-sum tulang belakang. Seperti disebutkan diatas bahwa meningitis itu disebabkan oleh virus dan bakteri, maka meningitis dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : meningitis purulenta dan meningitis serosa.

Meningitis Bakteri
Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah haemofilus influenza, Nersseria,Diplokokus pnemonia, Sterptokokus group A, Stapilokokus Aurens, Eschericia colli, Klebsiela dan Pseudomonas. Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan terkumpul di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis menjadi tebal. Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan intrakranial. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.

Meningitis Virus
Tipe dari meningitis ini sering disebut aseptik meningitis. Ini biasanya disebabkan oleh berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti; gondok, herpez simplek dan herpez zoster. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh koteks cerebri dan lapisan otak. Mekanisme atau respon dari jaringan otak terhadap virus bervariasi tergantung pada jenis sel yang terlibat.

Pencegahan
Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor presdis posisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.
Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk mengidentifikasi faktor atau janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius.

Pengkajian Pasien dengan meningitis
Riwayat penyakit dan pengobatan
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Setelah itu yang perlu diketahui adalah status kesehatan masa lalu untuk mengetahui adanya faktor presdiposisi seperti infeksi saluran napas, atau fraktur tulang tengkorak, dll.

Manifestasi Klinik
• Pada awal penyakit, kelelahan, perubahan daya mengingat, perubahan tingkah laku.
• Sesuai dengan cepatnya perjalanan penyakit pasien menjadi stupor.
• Sakit kepala
• Sakit-sakit pada otot-otot
• Reaksi pupil terhadap cahaya. Photofobia apabila cahaya diarahkan pada mata pasien
• Adanya disfungsi pada saraf III, IV, dan VI
• Pergerakan motorik pada masa awal penyakit biasanya normal dan pada tahap lanjutan bisa terjadi hemiparese, hemiplegia, dan penurunan tonus otot.
• Refleks Brudzinski dan refleks Kernig (+) pada bakterial meningitis dan tidak terdapat pada virus meningitis.
• Nausea
• Vomiting
• Demam
• Takikardia
• Kejang yang bisa disebabkan oleh iritasi dari korteks cerebri atau hiponatremia
• Pasien merasa takut dan cemas.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa.
Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas nilai normal.
Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.
Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.

Pemeriksaan Radiografi
CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.

Pengobatan
Pengobatab biasanya diberikan antibiotik yang paling sesuai.
Untuk setiap mikroorganisme penyebab meningitis :
Antibiotik Organisme
Penicilin G

Gentamicyn

Chlorampenikol Pneumoccocci
Meningoccocci
Streptoccocci

Klebsiella
Pseudomonas
Proleus

Haemofilus Influenza Terapi TBC
• Streptomicyn
• INH
• PAS Micobacterium Tuber culosis

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah :

Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan
• Pasien kembali pada,keadaan status neurologis sebelum sakit
• Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris

Kriteria hasil
• Tanda-tanda vital dalam batas normal
• Rasa sakit kepala berkurang
• Kesadaran meningkat
• Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat.

Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal Perubahan pada tekanan intakranial akan dapat meyebabkan resiko untuk terjadinya herniasi otak
Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS. Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjt
Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan hati-hati pada hipertensi sistolik Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler cerebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diiukuti oleh penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
Monitor intake dan output hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada pasien yang tidak sadra, nausea yang menurunkan intake per oral
Bantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur. Aktifitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau merubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava
Kolaborasi
Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial, vetriksi cairan dan cairan dapat menurunkan edema cerebral
Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat menyebabkan terjadinya iskhemik serebral
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika.
Terapi yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler.
Menurunkan edema serebri
Menurunka metabolik sel / konsumsi dan kejang.

Sakit kepala sehubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
Tujuan
Pasien terlihat rasa sakitnya berkurang / rasa sakit terkontrol

Kriteria evaluasi
• Pasien dapat tidur dengan tenang
• Memverbalisasikan penurunan rasa sakit.

Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Independent
Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
Menurukan reaksi terhadap rangsangan ekternal atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan pasien untuk beristirahat
Kompres dingin (es) pada kepala dan kain dingin pada mata Dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit / disconfort
Kolaborasi
Berikan obat analgesik
Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit. Catatan : Narkotika merupakan kontraindikasi karena berdampak pada status neurologis sehingga sukar untuk dikaji.

Potensial terjadinya injuri sehubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran
Tujuan:
Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran

Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Independent
monitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya
Gambaran tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat pasien. Melindungi pasien bila kejang terjadi
Pertahankan bedrest total selama fae akut Mengurangi resiko jatuh / terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti; diazepam, phenobarbital, dll.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

• Donnad, Medical Surgical Nursing, WB Saunders, 1991
• Kapita Selekta Kedokteran FKUI, Media Aesculapius, 1982
• Brunner / Suddarth, Medical Surgical Nursing, JB Lippincot Company, Philadelphia, 1984

ASUHAN KEBIDANAN PADA KLIEN DENGAN PERDARAHAN ANTEPARTUM YANG DISEBABKAN KARENA SOLUSIO PLASENTA

1. Latar Belakang

Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 420 per 100.000 kelahiran hidup, rasio tersebut sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Langkah utama yang paling penting untuk menurunkan angka kematian ibu adalah mengetahui penyebab utama kematian. Di Indonesia sampai saat ini ada tiga penyebab utama kematian ibu yaitu perdarahan, pre eklampsia-eklampsia, dan infeksi.

Perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin adalah kelainan yang berbahaya dan mengancam ibu. Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya. Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus, sedangkan pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara kehamilan muda dan kehamilan tua ialah kehamilan 28 minggu (dengan berat janin 1000 gram), meningat kemungkinan hidup janin diluar uterus.

Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu.

Perdarahan ante partum dapat disebabkan oleh plasenta previa, solusio plasenta, ruptura sinus marginalis, atau vasa previa.

2. Pengertian

1. Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu.

b. Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan implantsi normal pada kehamilan trimester ketiga. Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan timbunan darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat menimbulkan gangguan penyulit terhadap ibu maupun janin.

1. Terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta yang implantasinya normal, sebelum janin dilahirkan, pada masa kehamilan atau persalinan, disertai perdarahan pervaginam, pada usia kehamilan 20 minggu di sebut dengan solusio plasenta.

Penyulit terhadap ibunya dapat dalam bentuk :

* Berkurangnya darah dalam sirkulasi dalam darah umum.
* Terjadi penurunan tekanan darah, peningkatan nadi dan pernafasan.
* Penderita tamak anemis
o Dapat menimbulkan gangguan pembekuan darah, karena terjadi pembekuan intravaskular yang diikuti hemolisis darah sehingga fibrinogen makin berkurang dan memudahkan terjadinya perdarahan.
o Setelah persalinan dapat menimbulkan perdarahan postartum karena atonia uteri atau gangguan pembekuan darah
o Menimbulkan gangguan fungsi ginjal dan terjadi emboli yang menimbulkan komplikasi sekunder
o Peningkatan timbunan darah di belakang plasenta dapat menyebabkan rahim yang keras, adat dan kaku.
o Enyulit terhadap janin dalam rahim, tergantung luas plasenta yang lepas dapat menimbulkan asfiksia ringan sampai kematian janin dalam rahim.

3. Penyebab Solusio Plasenta

Sebab yang jelas terjadinya solusio plasenta belum diketahui, hanya para ahli mengemukakan teori: Akibat turunnya tekanan darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruangan interviler, maka terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini menjadi nekrotis, Spasme hilang dan darah kembali mengalir ke dalam intervili, namun pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuhnya serta mudah pecah, sehingga terjadi hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim. Darah yang berkumpul dibelakang plasenta disebut hematoma retroplasenter.

Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain :

v Faktor vaskuler (80-90%), yaitu toksemia gravidarum, glomerulo nefritis kronika, dan hipertensi esensial. Karena desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi haematoma retroplasenter dan plasenta sebagian terlepas.

v Faktor trauma, Pengecilan yang tiba-tiba dari uterus pada hidramnion dan gemeli. Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar, atau pertolongan persalinan.

v Faktor paritas, Lebih banyak dijumpai pada multi daripada primi. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta dijumpai 45 multi dan 13 primi.

v Pengaruh lain seperti anemia, malnutrisi, tekanan uterus pada vena cava inferior, dan lain-lain.

v Trauma langsung seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.

4. Klasifikasi Solusio Plasenta

1. Solusio plasenta berat, bila plasenta terlepas lebih dari 2/3 bagian, yang terjadi perdarahan disertai rasa nyeri. Penyulit ibu :

* Ø Terjadi syok dengan tekanan darah menurun, nadi dan pernafasan meningkat.
* Ø Dapat terjadi gangguan pembekuan darah.
* Ø Pada pemeriksaan dijumpai turunnya tekanan darah sampai syok, tidak sesuai dengan perdarahan dan penderita tampak anemis.
* Ø Pemeriksaan abdomen tegang, bagian janin sulit diraba, dinding perut terasa sakit, dan janin telah meninggal dalam janin.
* Ø Pemeriksaan dalam ketuban tegang dan menonjol.

b. Solusio plasenta sedang, yaitu terlepasnya plasenta > dari ¼ luasnya tetapi belum mencapai 2/3 bagian, dapat menimbulkan gejala klinik :

* Perdarahan dengan rasa sakit
* Perut terasa tegang
* Gerak janin berkurang
* Palpasi bagian janin sulit diraba
* Auskultasi jantung janin dapat terjadi asfiksia ringan dan sedang
* Pada pemerikasaan dalam ketuban menonjol
* Dapat terjadi gangguan pembekuan darah

1. Solusio plasenta ringan, yaitu terlepasnya plasenta < dari ¼ luasnya, tidak memberikan gejala klinik, keadaan umum ibu dan janin tidak mengalami gangguan, persalinan berjalan dengan pervaginam.

Proses solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan dalam desidua basalis yang menyebabkan hematoma retroplasenter. Perdarahan yang keluar pada solusio plasenta terbagi atas:

1. Perdarahan keluar
2. perdarahan tersembunyi

Perdarahan keluar

Adalah terlepasnya amnion khorion sehingga perdarahan keluar melalui osteum uteri

ü keadaan umum penderita relatif baik

ü plasenta yang terlepas sebagian/ komplit

ü jarang berhubungan dengan hipertensi

Perdarahan tersembunyi

Adalah perdarahan yang tertampung pada uterus karena amion khorion yang tidak terlepas

ü keadaan penderita jelek

ü plasenta terlepas luas

ü uterus keras/tegang

ü Sering berkaitan dengan hipertensi

5. Diagnosis Solusio Plasenta

a. Anamnesis

v Perdarahan timbul akibat adanya trauma pada abdomen atau timbul spontan. Darah yang keluar tidak sesuai dengan beratnya penyakit, berwarna kehitaman.

v Rasa nyeri pada daerah perut akibat kontraksi uterus atau rangsang peritoneum.

v Sering terjadi pasien tidak lagi merasakan adanya gerakan janin.

b. Pemeriksaan Status Generalis

v Keadaan umum pasien tidak sesuai dengan jumlah perdarahan

v Tekanan darah menurun, nadi dan pernafasan meningkat

v Penderita tampak anemis.

c. Pemeriksaan Status Obstetri

v Palpasi abdomen : uterus terasa tegang atau nyeri tekan, bagian-bagian janin sulit diraba, bunyi jantung janin sering tidak terdengar atau terdapat gawat janin, apakah ada kelainan letak atau pertumbuhan janin terhambat.

v Inspekulo : apakah perdarahan berasal dari ostium uteri atau dari kelainan serviks dan vagina. Nilai warna darah, jumlahnya, apakah encer atau disertai bekuan darah. Apakah tampak pembukaan serviks, selaput ketuban, bagian janin atau plasenta.

v Periksa Dalam : perabaan fornises hanya dilakukan pada janin presentasi kepala, usia gestasi di atas 28 minggu dan curiga plasenta praevia. Nilai keadaan serviks, apakah persalinan dapat terjadi kurang dari 6 jam, berapa pembukaan, apa presentasi janin, dan adakah kelainan di daerah serviks dan vagina.

d. Pemeriksaan Penunjang

v USG : menilai implantasi plasenta dan seberapa luas terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya, biometri janin, indeks cairan amnion, kelainan bawaan dan derajat maturasi plasenta.

v Kardiotokografi : pada kehamilan di atas 28 minggu.

v Laboratorium : darah perifer lengkap, fungsi hemostasis, fungsi hati, atau fungsi ginjal (disesuaikan dengan beratnya penyulit atau keadaan pasien). Lakukan pemeriksaan dasar : hemoglobin, hematokrit, trombosit, waktu pembekuan darah, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan elektrolit plasma.

v Pemeriksaan Lain : atas indikasi medik.

6. Penanganan Solusio Plasenta

a. Solusio plasenta ringan

Apabila perut tegang sedikit, perdarahan tidak terlalu banyak, keadaan janin masih baik dapat dilakukan penanganan secara konservatif. Sedangkan apabila perdarahan berlangsung terus ketegangan makin meningkat, dengan janin yang masih baik dilakukan secsio sesarea, apabila perdarahan terhenti dan keadaan baik pada kehamilan premature dilakukan perawatan inap.

b. Solusio plasenta tingkat sedang dan berat

Penanganannya dilakukan di rumah sakit karena dapat membahayakan jiwa pasien. Penatalaksanaannya adalah :

v Pemasangan infus dan transfuse darah.

c. Sikap bidan dalam menghadapi solusio plasenta

ASKEP DENGAN KLIEN ANGINA PECTORIS

A. Konsep Dasar Medis

1) Definisi
Angina Pektoris merupakan nyeri dada sementara atau perasaan tertekan ( kontriksi ) didaerah jantung. ( Brenda Walters. 2003 ).
Angina Pektoris adalah nyeri dada yang disebabkan oleh tidak adekuatnya aliran oksigen terhadap miokardium. ( Maryllin E. Doengoes. 2002 Hal 73 ).
Angina Pektoris merupakan suatu penyakit berbahaya yang timbul karena penyempitan arteri yang menyalurkan darah ke otot-otot jantung. ( Dr.John F.Knight. 1997 ).
2) Anatomi fisiologi
Jantung adalah organ berongga, berotot yang terletak di tengah thoraks dan menempati rongga antara kedua paru yang disebut mediastinum. Fungsi jantung adalah memompa darah ke jaringan, mensuplai O2 dan nutrisi sambil mengangkut CO2 dan sampah hasil metabolisme. Terdapat dua pompa jantung yang terletak di sebelah kiri dan kanan, keluaran jantung kanan didistribusikan seluruhnya ke paru-paru melalui arteri. Kerja pompa jantung dijalankan oleh kontraktilitas relaksasi ritmik dinding otot. Kontraksi otot disebut sistolik, kamar jantung menjadi lebih kecil karena darah disemburkan keluar. Relaksasi otot jantung disebut diastolik kamar jantung akan terisi darah sebagai persiapan untuk penyemburan berikutnya.
Jantung terbungkus dalam kantung fibrosa tipis yang disebut perikardium. Lapisan luar disebut pericardium parietalis dan lapisan dalam disebut pericardium viceralis yang langsung melekat pada permukaan jantung. Kedua pericardium dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas yang berfungsi mengurangi gesekan selama kontraksi jantung. Jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu :
• Lapisan luar : epikardium.
• Lapisan tengah : miokardium, merupakan lapisan otot.
• Lapisan dalam : endokardium.
Impuls jantung dimulai dan berasal dari Nodus Sinatrialis (SA) yang berada di dinding posterior atrium kanan dekat muara vena kava superior. SA Node menghasilkan denyut jantung 60-100 x dalam 1 menit. Kemudian dihantarkan ke AV Node yang berada di atrium kanan dekat muara sinus coronaria. Jalur AV merupakan transmisi impuls atrium dan ventrikel. Penahanan yang terlalu lama atau gagalnya transmisi impuls pada AV Node dikenal sebagai blok jantung. Dari AV, impuls jantung dihantarkan ke berkas his/bundel his yang membelah menjadi cabang kiri dan kanan kemudian di serabut purkinje yang menyebar keseluruhan permukaan dalam ventrikel otot jantung dan akan mengkontraksi jantung. Serabut purkinje juga menghasilkan impuls 20-40 x/menit.

Sirkulasi Peredaran Darah
Darah yang berasal dari vena cava superior dan inferior masuk atrium kanan kemudian ke ventrikel kanan lalu menuju paru-paru melalui arteria pulmonalis. Di paru-paru terjadi difusi CO2 dan O2. Darah yang banyak mengandung O2 keluar melalui vena pulmonalis ke atrium kiri melewati katub bikuspidalis ke ventrikel kiri dan akhirnya dipompa ke seluruh tubuh melalui arcus aorta kemudian melewati pembuluh darah, arteriola, kapiler (di sini terjadi difusi nutrisi dan metabolik jaringan), venula, vena kemudian kembali lagi dengan membawa CO2 ke atrium kanan melalui vena cava superior-inferior.
Ventrikel kiri dan kanan sewaktu diastole akan menghisap darah dari atrium kiri dan kanan melalui katub trikuspidalis dan mitral untuk dilewati darah. Setelah pengisian darah penuh di ventrikel akan berkontraksi maka katup bikuspidalis dan mitral tertutup. Keadaan ini disebut sistolik. Tertutupnya katub trikuspidalis dan mitral menghasilkan bunyi jantung I sedangkan tertutupnya katub aorta dan pulmonal menghasilkan bunyi jantung II. Curah jantung (cardiac output) adalah sejumlah darah yang dipompa jantung ke seluruh tubuh tiap menit. Besarnya curah jantung berubah tergantung dari kebutuhan metabolisme tubuh. Curah jantung (CO) sebanding dengan volume sekuncup (SV) kali frekuensi jantung (HR).
CO = SV x HR.
Pengaturan Denyut Jantung
Frekuensi jantung sebagian besar berada di bawah pengaturan system saraf otonom yaitu serabut parasimpatis mempersarafi node SA dan AV, mempengaruhi kecepatan dan frekuensi jantung sedangkan simpatis akan memperkuat denyut jantung.

Pengaturan Volume Sekuncup
Volume sekuncup tergantung dari tiga variabel :
- Preload yaitu peningkatan volume terakhir yang meningkatkan kekuatan kontraksi pada saat sistolik.
- Kontraktilitas yaitu kekuatan kontraksi dari jantung.
- After load yaitu besarnya tegangan yang dihasilkan oleh ventrikel selama fase systole agar mampu membuka katub semilunaris dan memompa darah keluar.
Ruang jantung terdiri atas empat ruang, dua ruang bagian atas disebut atrium, dua ruang di bagian bawah disebut ventrikel. Dinding yang memisahkan ruang kanan dan kiri disebut septum.
- Atrium kanan
Berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah, yang juga sebagai pengatur darah dari vena-vena sirkulasi sistemik ke dalam ventrikel kanan kemudian ke paru-paru. Darah yang berasal dari pembuluh vena masuk atrium kanan melalui vena cava inferior dan superior dan sinus coronarius.
- Ventrikel kanan
Menghasilkan kontraksi tekanan darah yang cukup untuk memompa darah ke dalam arteri pulmonalis.
- Atrium kiri
Menerima darah yang sudah dioksigenisasi dari paru-paru melalui vena pulmonalis. Darah mengalir dari atrium kiri ke dalam ventrikel kiri melalui katub mitralis.
- Ventrikel kiri
Ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang cukup tinggi untuk mengatasi tahanan sirkulasi sistemik dan mempertahankan aliran darah ke jaringan-jaringan perifer, sekat pembatas kedua ventrikel disebut septum interventrikularis.

Katub Jantung
Katub jantung memungkinkan darah mengalir hanya satu arah ke dalam jantung. Ada dua katub yaitu :
- Atrioventrikularis
Memisahkan antara atrium dan ventrikel. Terdapat dua jenis yaitu katub trikuspidalis dan mitralis/bikuspidalis. Katub trikuspidalis memisahkan atrium kiri dan ventrikel kiri.
- Semilunaris
Katub semilunaris terletak di antara tiap ventrikel dan arteri yang bersangkutan. Katub antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis disebut katub pulmonalis. Katub antara ventrikel kiri dan aorta disebut katub aorta.
3) Etiologi
- Penyakit arteri koroner ( CAD ) : gagal jantung konghesif ( CHF ), spasme arteri koroner dipacu oleh latihan, stress, pemajanan terhadap dingin.
- Perokok dan pengkomsumsi Alkohol.
- Makanan yang banyak mengandung serat lemak dan gula.
- Factor genetic ( herediter ).
4) Patofisiologi
Denyut jantung sangat penting, karena apabila ada rangsangan pada bagian tubuh. Dengan demikian arus listrik sebagai pembuka jalan akan menimbulkan kontraksi yang mana akan terjadi denyutan jantung. Hal ini berjalan terus dengan irama yang teratur tanpa berhenti, menurut kecepatan yang disebut tadi, pada umumnya 70x/mnt.
Tetapi jantung selalu pompa, mempunyai 4 ruang sendiri. Yang masing-masing mempunyai peran penting. Karena darah itu dipompakan bukan hanya kepada satu peredaran, melainkan kepada dua peredaran yang sama sekali berbeda.
Yang besar adalah peredararan umum, mengalirkan darah keseluruh bagian tubuh, tetapi setelah tiba diujung perjalanannya darah itu kembali ke sumber semula, perjalanan ini lebih pendek dan melintasi paru-paru yang melintasi komponen darah itu.
Juantung ada dua yaitu jantung sebelah kiri dan jantung sebelah kanan yang masing-masing mempunyai dua ruang, ruang sebelah atas yang disebut atrium ( serambi ), dan bawah ruang sebelah yang disebut ventrikel ( bilik ) masing-masing ruang ini dihubungkan dengan system peredarannya sendiri.satu seri katup yang sederhana namun efisien mengatur perjalanan darah itu sehingga mengalir dengan bebas diantara pembuluh darah, pembuluh yang pada masing-masing ruangan.
Darah dikirim ke atrium disebelah kanan melelui pembuluh-pembuluh utama yang disebut vena ( vene cava ) ini adalah darah yang telah dikumpulkan dari seluruh tubuh pada saat itu, lalu dilimpahkan ke atrium ( serambi )
Pada denyutan jantung yang berikutnya, jantung berkontraksi, lalu darah yang ada di atrium dilimpahkan ke ventrikel. Disebelah kanan ketika katup penghubung itu terbuka. Ketika ventrikel sebelah kanan mengempis, darah besar yan menyalurkan ke jantung
Tanda dan Gejala
- Rasa nyeri didada sebelah kiri dan menjalar kebahu, lengan kiri dan punggung
- Shock ( pusing, lemah, berkeringat, muntah-muntah, pingsan dan pucat )
- Sesak nafas
- Denyut jantung tidak teratur.
5) Test Diagnostik
• EKG : keadan Istirahat EKG normal pada 25 % pasien angina pectoris
• Fhoto Thorax : biasanya normal, namun infiltrate mungkin ada menunjukan dekompesasi jantung atau paru-paru
• Angiografi koroner : cara yang paling akurat, untuk unutk menentukan beratnya penyakit koroner, dilakukan pada penderita angina stabil yang kronik.
• Test Lab : SGOT, SGPT, LDH, CKMB : tidak ada penyimpangan ( normal )
• Kadar lipid, trigliserid dan kolesterol : mungkin meningkat
• Pembedahan bypass modern
• Treadmill
o Kontra Indikasi : pada pasien usia lanjut, penderita cacat, penderita denga sakit lama .
o Indikasi : untuk diagnostic Angina dengan memprovakasi kelaianan iskemia dan nyeri dada
7) Penatalaksaan Medik
• Meningkatkan suplai O¬2 ke miocard
• Menghilangkan nyeri dada
• Istirahat
• Hilangkan atau kurangi emosi
• Uji latihan beban / treadmill test
• Pemeriksaan EKG dan rekam jantung
• Diet :
- Kendalikan kalori sesuai dengan berat badan yang ideal
- Diet meliputi : karbohidrat (terutama yang majemuk ): 50% dari kaloro harian, protein : 20% dari kalori harian, dan lemak ( kebanyakan nabati ) : 30 % dari kalori harian
- Hindari makanan asin
8) Komplikasi
- Oisritmia / aritmia
- Miocard infark
- Syok cardiogenik
- Dekompensatio cordis
- Insfisiensi koroner

A. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
- Riwayat hipertensi dan penyakit paru.
- Riwayat anemia.
- Riwayat penyakit katub jantung, bedah jantung dan endokarditis.
b. Pola nutrisi metabolik
- Mual, muntah, anoreksia.
- Penambahan berat badan signifikan
- Edema, asites
- Makan makanan yang tinggi garam, lemak, gula dan kafein.
- Penggunaan obat diuretik.
c. Pola eliminasi
- Nokturia (berkemih pada malam hari)
- Penurunan berkemih, urine berwarna gelap
- Diare, konstipasi.
d. Pola latihan dan aktivitas
- Kelelahan terus menerus sepanjang hari.
- Gelisah
- Dyspnea
- Edema pada ekstremitas bawah.
- Batuk, nyeri dada pada saat aktivitas.
e. Pola tidur dan istirahat
- Insomnia
- Tidur menggunakan 2-3 bantal.
f. Pola persepsi dan kognitif
- Cemas
- Stres yang berhubungan dengan penyakit
- Kemampuan pasien mengatasi penyebab penyakit.
g. Pola hubungan dan peran dengan sesama
- Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
h. Pola reproduksi dan seksualitas
- Penurunan aktivitas seksualitas, penurunan libido dan impoten/ disfungsi orgasme sehubungan dengan kelelahan/beta blocker yang sering membuat penurunan sex.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung b/d perubahan kontraktilitas miokard, perubahan frekuensi, irama, konduksi dan listrik jantung.
b. Intoleransi aktivitas b/d penurunan curah jantung.
c. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan.
d. Kelebihan volume cairan b/d kegagalan curah jantung, retensi cairan.
e. Penurunan perfusi jaringan b/d penurunan cardiac output.
f. Resti kerusakan integritas kulit b/d penurunan perfusi jaringan, tirah baring lama.
g. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, aktivitas, diit dan pengobatan b/d kurang informasi.
3. Perencanaan Keperawatan
DP 1. Penurunan curah jantung b/d perubahan kontraktilitas miokard, perubahan frekuensi, irama, konduksi dan listrik jantung.
HYD: Menunjukkan TTV dalam batas normal, tidak terjadi angina, dyspnea, tidak ditemukan gejala gagal jantung.
Intervensi :
1) Kaji frekuensi dan irama jantung.
R/ Biasa terjadi takikardia untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas miokard.
2) Catat bunyi jantung tambahan.
R/ Bunyi tambahan menunjukkan lemahnya kerja jantung.
3) Pantau nadi perifer, TD
R/ Penurunan nadi dan TD menunjukkan penurunan curah jantung.
4) Kaji kulit terhadap pucat dan cyanosis.
R/ Menunjukkan menurunnya perfusi perifer sekunder karena tidak adekuatnya curah jantung.
5) Kaji terhadap penurunan kesadaran.
R/ Menunjukkan tidak adekuatnya perfusi serebral.
6) Pantau dan catat keluaran urine.
R/ Ginjal berespon terhadap penurunan curah jantung dengan menahan air dan natrium.
7) Anjurkan istirahat cukup.
R/ Memperbaiki efisiensi kontraktilitas jantung dan menurunnya kebutuhan O2.
8) Kolaborasi dan dokter untuk pemberian obat (diuretik, vasodilator, captopril, morfin sulfat dan tranquilizer/sedatif).
R/ Banyaknya obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
DP 2. Intoleransi aktivitas b/d penurunan curah jantung.
HYD: Klien dapat berinteraksi sesuai tingkat toleransi.
Intervensi :
1) Observasi TTV sebelum dan sesudah beraktivitas terutama klien yang menggunakan obat vasodilator dan diuretic.
R/ Hipotensi orthostatik dapat terjadi karena efek obat (vasodilatasi), perpindahan cairan/pengaruh obat jantung.
2) Catat respon kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dyspnea, pucat dan berkeringat.
R/ Penurunan miokardium untuk menaikkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat menurunkan frekuensi jantung dan kebutuhan O2
3) Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas.
R/ Dapat menunjukkan kenaikan dekompensasi jantung terhadap kelebihan aktivitas dengan periode istirahat.
4) Bantu penuh atau sesuai indikasi dan selingi aktivitas dengan periode istirahat.
R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi stress miokard.
5) Kolaborasi untuk program rehabilitasi jantung.
R/ Peningkatan aktivitas secara bertahap untuk mengurangi kerja jantung.
DP 3. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan.
HYD: Pernapasan klien normal 12-20 x/menit, bunyi nafas normal.
Intervensi :
1) Beri posisi semifowler/fowler.
R/ Meningkatkan ventilasi dan mengurangi aliran balik vena ke jantung dan meningkatkan ekspansi paru.
2) Jelaskan dan ajarkan klien batuk efektif dan nafas dalam.
R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2.
3) Auskultasi bunyi nafas, catat crackles, frekuensi pernapasan.
R/ Menyatakan adanya kongesti paru dan menunjukkan kebutuhan O2, informasi lanjut sebagai evaluasi terhadap respon terapi.
4) Kolaborasi dalam pemberian terapi O2.
R/ Menaikkan saturasi O2 dan mengetahui dyspnea dan fatigue.
5) Pantau nilai AGD.
R/ Monitor O2 dalam darah.
DP 4. Kelebihan volume cairan b/d kegagalan curah jantung, retensi cairan.
HYD: Edema berkurang sampai dengan hilang.
Intervensi :
1) Kaji derajat edema dan ukur lingkar perut setiap hari.
R/ Pada gagal jantung, cairan dapat berkumpul di ekstremitas bawah, abdominal.
2) Pantau intake-output.
R/ Memantau balance cairan.
3) Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler.
R/ Posisi terlentang meningkatkan filtrasi ginjal menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4) Timbang BB bila memungkinkan.
R/ Catat perubahan ada atau hilangnya edema sebagai respon terhadap terapi.
5) Kaji distensi leher dan pembuluh perifer serta adanya edema dengan/tanpa pitting (catat adanya edema tubuh umum).
R/ Retensi cairan berlebihan dapat dimanfaatkan dengan pembendungan vena dan pembentukan edema.
6) Kaji adanya keluhan dyspnea yang ekstrim dan tiba-tiba.
R/ Menunjukkan terjadinya komplikasi (edema paru/emboli).

7) Berikan diit rendah sodium dan natrium serta batasan cairan.
R/ Mengurangi retensi cairan.
8) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat digitalis, diuretik dan tambahan kalium.
R/ Meningkatkan tugas jantung, meningkatkan keluaran urine dan menghambat reabsorpsi natrium.
DP 5. Penurunan perfusi jaringan b/d penurunan curah jantung.
HYD: Pasien mengatakan perasaan nyaman atau tidak ada nyeri saat istirahat.
Nadi perifer teraba dan kuat.
Keluhan pusing berkurang sampai dengan hilang.
Warna kulit tidak pucat, suhu tubuh hangat.
Intervensi :
1) Kaji keluhan pasien (nyeri dada, pusing).
R/ Pengkajian yang tepat diperlukan untuk memberikan intervensi yang tepat.
2) Monitor TTV dan irama jantung setiap 4 jam.
R/ Nadi yang cepat dan reguler dapat menyebabkan penurunan curah jantung yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
3) Periksa nadi perifer setiap 4 jam.
R/ Nadi perifer teraba dan kuat mengindikasikan aliran arterial yang baik.
4) Kaji warna kulit, suhu dan tekstur kulit tiap 4 jam, catat dan laporkan bila ada perubahan.
R/ Penurunan perfusi jaringan dapat menyebabkan kulit menjadi dingin dan tekstur berubah.
DP 6. Risti kerusakan integritas kulit b/d penurunan perfusi jaringan, tirah baring lama.
HYD: Kerusakan kulit tidak terjadi pada daerah edema atau tertekan.
Intervensi :
1) Kaji adanya tanda edema pada daerah scrotum, tumit dan maleolus.
R/ Mengidentifikasi area edema dan rencana tindakan selanjutnya.
2) Pijat area yang tertekan.
R/ Meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.
3) Ubah posisi sering di tempat tidur dan bantu latihan rentang gerak aktif pasif (tiap 2-4 jam sekali).
R/ Memperbaiki sirkulasi/menurunkan waktu satu area yang mengganggu aliran darah.
4) Berikan perawatan kulit dan menjaga kelembaban.
R/ Terlalu kering atau lambat merusak kulit dan mempercepat kerusakan.
5) Jaga kebersihan alat tenun dan bebas kerut.
R/ Penurunan tekanan pada kulit memperbaiki sirkulasi.
DP 7. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan pengobatan b/d kurang informasi.
HYD: Secara verbal pasien memahami tentang penyakitnya dengan baik, ketentuan diet dan penatalaksanaan pengobatan.
Intervensi :
1) Diskusikan fungsi jantung normal dan jelaskan tentang fisiologinya.
R/ Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program pengobatan.
2) Jelaskan tentang program pengobatan dan pentingnya menjalankan diet.
R/ Pengertian dalam pengobatan dapat meningkatkan motivasi klien.
3) Diskusikan tentang pentingnya istirahat.
R/ Aktivitas fisik yang berlebihan dapat berlanjut menjadi kelemahan jantung.
4) Diskusikan dalam pemberian obat dan efek samping obat.
R/ Pemahaman kebutuhan terapeutik pentingnya upaya pelaporan efek samping dapat mencegah terjadinya komplikasi obat.
5) Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.
R/ Dapat memahami tentang proses perjalanan penyakit.
.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long, 1989. Medical Surgical Nursing. St. Louis. CV. Mosby Company.
Brunner and Suddarth. 1999. Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 2, Alih bahasa: Monica Ester, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Donna D. Ignatavicius, 1991. Medical Surgical Nursing, WB. Saunders Company, Philadelphia.
Joyce M. Black, 1997. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Continuity of Care. Fifth Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia.
Lewis, Sharon Mantik, 2000, Medical Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. Missouri: Mosby Inc.
Luckmann and Sorensen’s, 1993. Medical Surgical Nursing A Psychophysiologic Approach. Fourth edition.
Mansjoer, Arif dkk (editor), 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga, Jilid 2. Penerbit FKUI: Jakarta.
Marilynn E. Doengoes, 1993. Nursing Care Plan. Edition 3, Philadelphia: F.A. Davis Company.
Soeparman, Sarwono Waspadji, 1990. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Penerbit FKUI. Jakarta.
Internet www. Googgle.id. com. Angina Pektoris

ASKEP BAYI HIPERBILIRUBIN

A. Batasan-Batasan
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
• Timbul pada hari kedua-ketiga
• Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
• Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
• Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
• Ikterus hilang pada 10 hari pertama
• Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

D. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
• Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
• Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
• Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
• Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
• Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
• Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
• Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

E . Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.

Diagram Metabolisme Bilirubin

ERITROSIT

HEMOGLOBIN

HEM

GLOBIN

BESI/FE
BILIRUBIN INDIREK
( tidak larut dalal air )

Terjadi pada
Limpha, Makofag

BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN ALBUMIN

Terjadi dalam
plasma darah

MELALUI HATI

BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN GLUKORONAT/ GULA RESIDU BILIRUBIN DIREK
( larut dalam air )
Hati

BILIRUBIN DIREK DIEKSRESI KE KANDUNG EMPEDU

Melalui
Duktus Billiaris

KANDUNG EMPEDU KE DEUDENUM

BILIRUBIN DIREK DI EKSKRESI MELALUI URINE & FECES

F. Patofisiologi Hiperbilirubinemia

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

G. Penata Laksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.

Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin

Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 – 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.

Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb:
• Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
• Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
• Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
• Kadar Bilirubin Serum berkala.
• Darah tepi lengkap.
• Golongan darah ibu dan bayi.
• Test Coombs.
• Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.

2. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam sesudah lahir.
• Biasanya Ikterus fisiologis.
• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
• Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
• Polisetimia.
• Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).

Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan darah tepi.
• Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
• Pemeriksaan lain bila perlu.

3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
• Sepsis.
• Dehidrasi dan Asidosis.
• Defisiensi Enzim G6PD.
• Pengaruh obat-obat.
• Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.

4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
• Karena ikterus obstruktif.
• Hipotiroidisme
• Breast milk Jaundice.
• Infeksi.
• Hepatitis Neonatal.
• Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan darah tepi.
• Skrining Enzim G6PD.
• Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

ASUHAN KEPERAWATAN
Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses keperawatan yang meliputi Pengkajian, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.

Pengkajian
1. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.

4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)

2. Diagnosa, Tujuan , dan Intervensi
Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.
1. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan sehubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat
Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui atau memberi botol.
2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5 – 37 C, cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.

3. Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit sehubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare
Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan
Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.

4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting sehubungan dengan pemisahan
Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.

5. Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan
Intervensi :
Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.

6. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi
Intervensi :
Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tida menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.

7. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tanda-tanda vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.

Aplikasi Discharge Planing.
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.

Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (warley &Wong, 1994):
1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan kelancaran air susu.
3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin bayi.
4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :
• Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
• Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak.
• Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
• Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
• Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena gesekan
• Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan .
• Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.
• Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit, capilari reffil.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38  celsius)
2. Perawatan tali pusat / umbilikus
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru
5. Temperatur / suhu
6. Pernapasan
7. Cara menyusui
8. Eliminasi
9. Perawatan sirkumsisi
10. Imunisasi
11. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
• letargi ( bayi sulit dibangunkan )
• demam ( suhu > 37  celsius)
• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
• diare ( lebih dari 3 x)
• tidak ada nafsu makan.
12. Keamanan
• Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.
• Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
• Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
• Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara – saudaranya.

RENCANA PEMULANGAN POST PARTUM
(DISCHARGE PLANNING)

1. Pendahuluan

Beberapa tahun terakhir ini sistem perawatan dan pengobatan telah berubah. Perawatan klien di rumah sakit saat ini diusahakan untuk mengurangi biaya perawatan dan memberi kesempatan pada pasien lain yang lebih membutuhkan. konsekuensinya, tim kesehatan harus membantu klien benar-benar memahami status kesehatannya dan harus mampu menyiapkan klien merawat dirinya sendiri di rumah atau di masyarakat.
Pendekatan perawatan klien selama post partum juga berubah. Klien tidak dianggap lagi orang sakit, tetapi dianggap suatu proses yang alami dan mereka dianggap sehat. Oleh karena itu klien harus secepatnya mobilisasi dan mandiri dalam merawat dirinya sendiri. Waktu perawatan juga berubah, menjadi lebih singkat, bisa hanya 24 jam sampai 72 jam saja. Dalam waktu yang sesingkat mungkin, klien dan keluarganya harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan sehingga klien mampu merawat dirinya sendiri.
Perawatan yang diberikan merupakan usaha kolaborasi yang melibatkan ibu dan keluarga, perawat, dokter dan tim kesehatan lainnya, untuk mencapai kesehatan yang optimal. Untuk semua alasan di atas maka rencana pemulangan pasien post partum sangat penting karena :
1. Memudahkan pemantauan kesehatan setelah pasien pulang ke rumah.
2. Membuat pasien lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya.
3. Berkurangnya biaya pengobatan dan perawatan, tempat tidur dapat diisi pasien lain
4. Penggunaan rencana pemulangan tertulis sangat efektif untuk pedoman pengajaran dan evaluasi serta menjadi sumber pengetahuan ibu dan keluarga.

Bagi klien post partum, pemulihan kesehatan setelah melahirkan relatif singkat dan dianggap suatu proses sehat. Persepsi ini sering kali membuat tim kesehatan berpendapat bahwa ibu dan keluarga tidak mempunyai kebutuhan dan pelatihan yang khusus, ditambah lagi ada anggapan bahwa keluarga sedang berbahagia dan siap menerima bayinya. Anggapan ini tentunya tidak benar karena setiap keluarga post pertum mempunyai kebutuhan dan masalah tertentu, ibu-ibu primipara bingung dalam merawat dan beradaptasi dengan bayi dan peran barunya, sedangkan ibu-ibu multipara mungkin bingung dengan masalah keuangan, anak-anak yang lain serta berhubungan dengan datangnya anggota baru. Jadi pendekatan dan perhatian dan sikap tim kesehatan, harus sama dengan kedua kelompok ini. Pada masa perawatan post partum di rumah sakit inilah mereka menerima pengajaran dan bimbigan untuk mengantisipasi perubahan fisik dan suasana dalam keluarga di rumah nanti.

Karena kebanyakan ibu dirawat dalam waktu singkat, maka penting bagi perawat mempersiapkan klien secara sistematis. Seringkali digunakan paduan format-format. Sebelum ibu pulang sebaiknya rencana pemulangan sudah dipersiapkan dan perawat masih tetap menyediakan waktu untuk penguatan dan evaluasi pengetahuan, ketrampilan, dan kondisi mental seluruh keluarga. Mengingat luasnya dan kompleksnya perawatan terhadap klien post partum, maka kelompok mambatasi permasalahannya tentang pendidikan kesehatan pada klien post partum.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kepada perawat dan tenaga kesehatan lainnya mengenai rencana pemulangan klien post partum, hal ini akan diuraikan dalam makalah.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Rencana Pemulangan
Rencana Pemulangan (RP) merupakan bagian pelayanan perawatan, yang bertujuan untuk memandirikan klien dan mempersiapkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional bayi bila pulang.

Waktu yang terbaik untuk memulai rencana pulang adalah hari pertama masuk rumah sakit. Klien belum dapat dipulangkan sampai dia mampu melakukan apa yang diharapkan darinya ketika di rumah. Oleh karena itu Rencana Pemulangan harus didasarkan pada :
1. Kemampuan klien untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan seberapa jauh tingkat ketergantungan pada orang lain
2. Ketrampilan, pengetahuan dan adanya anggota keluarga atau teman
3. Bimbingan perawat yang diperlukan untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan, pendidikan, dan pengobatan.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan proses berencana untuk memulangkan klien adalah :
1. Menentukan klien yang memerlukan rencana pulang.
2. Waktu yang terbaik untuk memulai rencana pulang.
3. Staf yang terlibat dalam rencana pulang.
4. Cara yang digunakan dan evaluasi efektifitas dari rencana pulang.

Beberapa karakteristik yang harus dipertimbangkan dalam membuat Rencana Pemulangan (RP) adalah :
1. Berfokus pada klien. Nilai, keinginan dan kebutuhan klien merupakan hal penting dalam perencanaan. Klien dan keluarga harus berpartisipasi aktif dalam hal ini.
2. Kebutuhan dasar klien pada waktu pulang harus diidentifikasi pada waktu masuk dan terus dipantau pada masa perawatan
3. Kriteria evaluasi menjadi panduan dalam menilai keberhasilan implementasi dan evaluasi secara periodik.
4. Rencana pemulangan suatu proses yang melibatkan tim kesehatan dari berbagai disiplin ilmu.
5. Klien harus membuat keputusan yang tertulis mengenai rencana pemulangan.

Rencana penyuluhan didasarkan pada :
1. Kebutuhan belajar orang tua.
2. Prinsip belajar mengajar.
3. Mengkaji tingkat pengetahuan dan kesiapan belajar.
• Metode belajar
• Kondisi fisik dan psikologis orang tua
4. Latar belakang sosial budaya untuk proses belajar mengajar
• Tekankan bahwa merawat bayi bukan hanya kewajiban wanita
5. Lamanya bayi dan ibu tinggal di rumah sakit
• “Early discharge” 6 – 8 jam I, dimana informasi penting harus diberikan serta follow up.

Cara-cara penyampaian Rencana Pemulangan adalah :
1. Gunakan bahasa yang sederhana, jelas dan ringkas.
2. Jelaskan langkah-langkah dalam melaksanakan suatu perawatan.
3. Perkuat penjelasan lisan dengan instruksi tertulis
4. Motivasi klien untuk mengikuti langkah-langkah tersebut dalam melakukan perawatan dan pengobatan.
5. Kenali tanda-tanda dan gejala komplikasi yang harus dilaporkan pada tim kesehatan.
6. Berikan nama dan nomor telepon yang dapat klien hubungi.

Dasar-dasar rencana penyuluhan
1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38  celsius)
• membersihkan mata dari dalam ke luar
• membersihkan kepala bayi (bayi masih berpakaian lalu keringkan)
• buka pakaian bayi, beri sabun dan celupkan ke dalam air.
2. Perawatan tali pusat / umbilikus
• bersihkan dengan alkohol lalu kompres betadin
• tali pusat akan tanggal pada hari 7 – 10
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru
5. Cara-cara mengukur suhu
6. Memberi minum
7. Pola eliminasi
8. Perawatan sirkumsisi
9. Imunisasi
10. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
• letargi ( bayi sulit dibangunkan )
• demam ( suhu > 37  celsius)
• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
• diare ( lebih dari 3 x)
• tidak ada nafsu makan.

Rencana pemulangan ditujukan pada :

IBU
Dalam rencana pemulangan yang perlu dianjurkan antara lain :
1. Pernapasan dada
2. Bentuk tubuh, lumbal,dan fungsi otot-otot panggul
3. Latihan panggul, evaluasi, gambaran dan ukuran yang menyenangkan
4. Latihan penguatan otot perut
5. Posisi nyaman untuk istirahat
6. Permudahan gerakan badan dari berdiri ke jalan
7. Tehnik relaksasi
8. Pencegahan; jangan mengangkat berat, melakukan sit up secara berlebihan.
Daftar kegiatan sangat membantu kondisi post partum kembali dalam keadaan sehat. Saat ibu kembali ke rumah, secara bertahap akan kembali melakukan aktivitas normal. Pekerjaan rumah akan membantu mencegah kekakuan otot-otot secara umum tetapi tidak akan melemahkan kekuatan otot (Blankfield, 1967).

Ketika membantu klien untuk memilih program latihan perawat seharusnya memperingatkan akan perubahan muskuloskeletal yang akan kembali normal pada 6 – 8 minggu (Danforth,1967). Selama periode ini, ligamen-ligamen akan lunak dan saling terpisah oleh karena itu latihan-latihan memerlukan keregangan dan kekuatan otot-otot yang berlebihan seperti halnya aerobik, lari, dan lai-lain harus dihindari selama periode ini untuk mencegah ketegangan. Aktifitas yang aman seperti berjalan, berenang dan bersepeda sangat dianjurkan. Seorang wanita dapat memulai latihan atau Yoga 2 minggu setelah melahirkan pervaginam atau 4 – 6 minggu setelah mengalami operasi caesar.

Secara ideal ini harus memiliki seorang instruktur yang berpengalaman yang bertanggung jawab selama melatih ibu post partum. Ibu biasanya mendapatlan kesulitan dalam mengatur waktu untuk latihan atau melakukan tehnik relaksasi di rumah. Perawat harus membantu mendorong ibu untuk istirahat ketika bayi sedang tidur dan mencoba untuk tidak melakukan pekerjaan selama waktu itu.

Wanita biasanya kurang sabar dalam hal merawat tubuhnya . Perawat harus mengingatkan bahwa selama masa menyusui membutuhkan ekstra lemak dari tubuhnya, oleh karena itu nutrizi dan gizi yang baik sangat dibutuhkan. Perawat harus meyakinkan ibu bahwa waktu yang dibutuhkan seorang wanita untuk kembali pada tubuh yang normal setelah persalinan sangan bervariasi dan prosesnya dapat berlangsung 6 – 12 bulan.

Selama masa nifas ibu perlu memperhatikan :
Pemenuhan rasa nyaman
Hari I

Hari II

Pernapasan

Latihan
Hari I
Permulaan

Hari II
tambahan
Perineum kompres dingin. Posisi terlentang, Sim, telungkup; semua dengan bantal yang menyokong kepala, kedua lutut dan pelvis hanya untuk prone (telungkup)
Gunakan BH yang menyangga, lakukan rendam hangat (daerah perineum), lanjutkan latihan Kegel, posisi berbaring atau telungkup (2x sehari selama 30 – 60 menit), ambulansi.
Pernafasan ke arah dada dan toraks
Pengembalian posisi pelvis :
Pengerutan dasar pelvis 1-3-5 detik 5 kali / jam
Pengerutan abdomen 5 – 10 detik 5 kali / 2 x sehari
Pergerutan abdomen dan
dasar pelvis 3-5-10 detik 5 x / 2x sehari
Pengerutan abdominal,
dasar panggul dan bokong 3 – 5- 10 detik 5 x /2x sehari
Ekstremitas bagian bawah
Menutup dan membuka lutut 10 x / jam
Memutar lutut 10 x / jam
Mengaktifkan quatriseps 5 – 10 detik, 10 x / jam
Abdominal / pelvis
Mengkaji dasar pelvis 1x tiap hari
Mengangkat pinggul 5 detik , 5 x / 2x sehari
Gerakan bersepeda dengan terus-
menerus terlentang 5x / 2x sehari
Mengangkat bokong 5 detik, 5 x /2 x sehari
Mengangkat kepala 5 detik, 5 x / 2x sehari

Instruksi masa nifas adalah :
Bekerja
Ibu seharusnya menghindari kerja berat (misalnya mengangkat / membawa beban) pada 3 minggu pertama. Pada ibu-ibu yang mempunyai pengertian berbeda tengan kerja berat dapat mendiskusikan dengan ibu-ibu yang lain. Perawat dapat membantu mengidentifikasikan pengertian dari kerja berat.
Biasanya dianjurkan tidak bekerja selama 3 minggu ( lebih baik 6 minggu), bukan saja untuk kesehatan tetapi juga untuk mendapatkan kesempatan lebih dekat dengan bayinya.

Istirahat
Ibu sebaiknya mengusahakan bisa tidur siang dan tidur malam yang cukup. Ibu biasanya tidur siang selagi bayi tidur dan minta suami/keluarga menggantikan tugas-tugas yang ada. Mintalah keluarga / suami untuk membantu tugas-tugas rumah tangga.

Kegiatan / aktifitas / latihan
Pada minggu pertama ibu seharusnya memulai latihan berjalan setahap demi setahap.
Pada minggu ke dua, jika lokea normal dapat memulai latihan aktifitas lain yang akan direncanakan seperti mencuci popok setiap hari walaupun dengan memakai mesin cuci, naik turun tangga untuk melihat bayinya atau berada setiap saat disamping bayinya. Ibu seharusnya melanjutkan senam nifas di rumah seperti halnya sit up dan mengangkat kaki.

Kebersihan
Ibu harus tetap bersih, segar dan wangi. Merawat perineum dengan baik dengan menggunakan antiseptik (PK / Dethol) dan selalu diingat bahwa membersihkan perineum dari arah depan ke belakang.

Coitus
Coitus lebih segera setelah lokea menjadi alba dan bila ada episiotomi sudah membaik / sembuh ( minggu 3 setelah persalinan)
Sel-sel vagina mungkin tidak setebal sebelumnya karena keseimbangan hormon prepregnansi belum kembali secara lengkap. Gunakan kontrasepsi busa atau jeli akan membantu kenyamanan dan pengaturan posisi yang bisa mengurangi penekanan atau dispariunia.

Kontrasepsi
Jika ibu menginginkan memakai IUD, dapat dipasang segera setelah persalinan atau chekup post partum yang pertama. Jenis kontrasepsi yang memakai diafragma harus pada minggu ke 6 , kontrasepsi oral dimulai antara 2 -3 minggu post partum sampai kembali pada chekup berikutnya. Ibu dan pasangannya dapat menggunakan kombinasi antara jelly yang mengandung spermatid dengan kondom lebih dapat mencegah pembuahan. Konsultasi dalam memilih alat kontrasepsi harus kepada tenaga kesehatan yang berkopeten untuk mencegah kesalahan informasi.

BAYI
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi (seperti rangsangan, latihan, dan kotak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perencanaan pulang .

Yang perlu diperhatikan adalah :
Temperatur / suhu
1. Sebab-sebab penurunan suhu tubuh
2. Catat gejala-gejala yang timbul seperti kelemahan, bersin, batuk dll.
3. Cara-cara mengurangi / menurunkan suhu tubuh seperti kompres dingin, mencegah bayi terkena sinar matahari terlalu lama, dan lain-lain
4. Gunakan lampu penghangat / selimut tambahan
5. Ukur suhu tubuh

Pernapasan
1. Perubahan frekwensi dan irama napas
2. Refleks-refleks seperti; bersin, batuk.
3. Pencegahan terhadap asap rokok, infeksi orang terkena infeksi saluran napas
4. Gejala-gejala pnemonia aspirasi

Eliminasi
1. Perubahan warna dan kosistensi feses
2. Perubahan warna urin

Keamanan
1. Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.
2. Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
3. Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
4. Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara – saudaranya.

ADAPTASI FISIOLOGIS PADA MASA POST PARTUM/NIFAS

Sebelum membahas tentang perubahan-perubahan pada masa nifas baik fisiologis maupun psikologis, maka kelompok akan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian nifas.
Masa nifas adalah suatu masa dimana tubuh menyesuaikan baik fisik maupun psikologis terhadap proses melahirkan yang lamanya kurang lebih 6 minggu. Selain itu, pengertian masa nifas adalah masa mulainya persalinan sampai pulihnya alat-alat dan anggota badan yang berhubungan dengan kehamilan / persalinan. (Ahmad Ramli. 1989).

Dari dua pengertian di atas kelompok menyimpulkan bahwa masa nifas adalah masa sejak selesainya persalinan hingga pulihnya alat-alat kandungan dan anggota badan serta psikososial yang berhubungan dengan kehamilan / persalinan selama 6 minggu.

Dalam proses adaptasi pada masa post partum terdapat 3 (tiga) periode yang meliputi “immediate puerperium” yaitu 24 jam pertama setelah melahirkan, “ early puerperium” yaitu setelah 24 jam hingga 1 minggu, dan “late puerperium” yaitu setelah 1 minggu sampai dengan 6 minggu post partum.

Perubahan fisiologis terjadi sejak hari pertama melahirkan. Adapun perubahan fisik yang terjadi adalah :
Sistem kardiovaskuler
Sebagai kompensasi jantung dapat terjadi brandikardi 50 – 70 x/menit, keadaan ini dianggap normal pada 24 – 48 jam pertama. Perubahan suhu yang meningkat sampai dengan 38  Celsius sebagai akibat pemakaian tenaga dan banyak berkeringat saat melahirkan. Peningkatan suhu tubuh lebih dari 38  Celsius menunjukan adanya tanda-tanda infeksi pada post partum seperti mastitis, endometritits. Penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg pada saat klien merubah posisi dari berbaring ke duduk lebih disebabkan oleh refleks ortostatik hipertensi.

Diaporesis Post partum
Klien dapat mengeluarkan keringat yang banyak disertai perasaan menggigil. Perasaan ini terjadi karena vasomotor yang tidak stabil.
Perubahan sistem urinarius
Selama masa persalinan trauma pada kandung kemih dapat mengakibatkan edema dan mengurangi sensitifitas kandung kemih. Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat peregangan yang berlebihan dan pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas.
Bila klien lebih dari dua hari tidak dapat buang air kecil, maka keadaan ini merupakan hal yang tidak normal. Protein urin pada hari kedua adalah normal, karena kebutuhan protein yang dikatalisis involusi uteri meningkat. Bila ini berlangsung sampai dengan hari ke tujuh, menandakan adanya gejala preeklamsi.

Perubahan sistem gastro intestinal
Keadaan gastro intestinal kembali berfungsi ke keadaan semula setelah satu minggu post partum. Konstipasi terjadi akibat penurunan motilitas usus, kehilangan cairan tubuh dan rasa tidak nyaman di daerah perineum, penggunaan enema pada kala I dan penurunan tonus otot abdominal.

Keadaan muskuloskeletal
Pada masa kehamilan otot abdomen meregang sedemikian rupa dikarenakan pembesaran uterus yang mengakibatkan otot abdomen melemas dan kendor sehingga teraba bagian otot-otot yang terpisah disebut diastasis recti abdominis.

Perubahan sisten endokrin
Perubahan sistem endokrin disini terjadi penurunan segera kadar hormon estrogen dan progesteron. Hormon prolaktin pada masa laktasi akan meningkat sebagai respon stimulasi penghisapan puting susu ibu oleh bayi. Pada wanita yang tidak menyusui hormon estrogen dapat meningkat dan merangsang pematangan folikel. Untuk itu menstruasi dapat terjadi 12 minggu post partum, pada klien menyusui dapat lebih lama (36 minggu).

Perubahan pada payudara
Payudara dapat membengkak karena sistem vaskularisasi dan limfatik disekitar payudara dan mengakibatkan perasaan tegang dan sakit. Pengeluaran air susu ke duktus lactiferus oleh kontraksi sel-sel mioepitel tergantung pada sekresi oksitosin dan rangsangan penghisapan puting susu oleh bayi.

Perubahan uterus
Involusi uterus terjadi segera setelah melahirkan. Tinggi fundus uteri pada saat plasenta lahir 1 – 2 jam setinggi 1 jari di atas pusat, 12 jam setelah melahirkan tinggi fundus uteri pertengahan pusat dan sympisis, pada hari ke sembilan uterus tidak teraba lagi. Bersama involusi uterus ini teraba terdapat pengeluaran lochea. Lochea pada hari ke 1 – 3 berwarna merah muda (rubra), pada hari ke 4 – 9 warna coklat / pink (serosa), pada hari ke- 9 warna kuning sampai putih (alba).

Perubahan dinding vagina
Segera setelah melahirkan dinding vagina tampak edema, memar serta rugae atau lipatan-lipatan halus tidak ada lagi.
Pada daerah perineum akan tampak goresan akibat regangan pada saat melahirkan dan bila dilakukan episiotomi akan menyebabkan rasa tidak nyaman.

ADAPTASI PSIKOLOGI PADA MASA POST PARTUM
I. Adaptasi Psikologi Ibu
Menjadi orang tua merupakan suatu krisis tersendiri dan harus melewati masa transisi. Masa transisi pada post partum yang harus diperhatikan perawat adalah :
1. Honeymoon adalah fase setelah anak lahir dan dan terjadi kontak yang lama antara ibu, ayah, anak. Kala ini dapat dikatakan sebagai psikis honeymoon yang memerlukan hal-hal romantis masing-masing saling memperhatikan anaknya dan menciptakan hubungan yang baru.

2. “ Bonding Attachment ” atau ikatan kasih
• Dimulai sejak dini begitu bayi dilahirkan. “Bonding” adalah suatu istilah untuk menerangkan hubungan antara ibu dan anak. Sedangkan “attachment” adalah suatu keterikatan antara orang tua dan anak. Peran perawat penting sekali untuk memikirkan bagaimana hal tersebut dapat terlaksana. Partisipasi suami dalam proses persalinan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ikatan kasih tersebut.

Perubahan psikologis pada klien post partum akan dikuti oleh perubahan psikologis secara simultan sehingga klien harus beradaptasi secara menyeluruh.
Menurut klasifikasi Rubin terdapat tiga tingkat psikologis klien setelah melahirkan adalah :

“Taking In”
Suatu periode dimana ibu hanya berorientasi pada kebutuhan diri sendiri, tingkah laku klien pasif dengan berdiam diri, tergantung pada orang lain. Ibu belum mempunyai inisiatif untuk kontak dengan bayinya. Dia sangat membutuhkan orang lain untuk membantu, kebutuhannya yang utama adalah istirahat dan makan. Selain itu ibu mulai menerima pengalamannya dalam melahirkan dan menyadari bahwa hal tersebut adalah nyata. Periode ini berlangsung 1 – 2 hari.

Menurut Gottible, ibu akan mengalami “proses mengetahui/menemukan “ yang terdiri dari :
1. Identifikasi
Ibu mengidentifikasi bagian-bagian dari fisik bagyi, gambaran tubuhnya untuk menyesuaikan dengan yang diharapkan atau diimpikan.
2. Relating (menghubungkan)
Ibu menggambarkan anaknya mirip dengan anggota keluarga yang lain, baik dari tingkah lakunya dan karakteristiknya.
3. Menginterpretasikan
• Ibu mengartikan tingkah laku bayi dan kebutuhan yang dirasakan.
Pada fase ini dikenal dengan istilah “ fingertip touch”

“ Taking Hold “
Periode dimana terjadi perpindahan dari keadaan ketergantungan keadaan mandiri. Perlahan-lahan tingkat energi klien meningkat merasa lebih nyaman dan mulai berfokus pada bayi yang dilahirkan. Klien lebih mandiri, dan pada akhirnya mempunyai inisiatif untuk merawat dirinya, mampu untuk mengontrol fungsi tubuh, fungsi eliminasi dan memperhatikan aktifitas yang dilakukannya setiap hari. Jika ibu merawat bayinya, maka ia harus memperhatikan kualitas dan kuantitas dari produksi ASI. Selain itu, ibu seharusnya tidak hanya mengungkapkan keinginannya saja akan tetapi harus melakukan hal tersebut, misalnya keinginan berjalan, duduk, bergerak seperti sebelum melahirkan. Disini juga klien sangat antusias merawat bayinya. Pada fase ini merupakan saat yang tepat untuk memberikan pendidikan perawatan utnuk dirinya dan bayinya. Pada saat ini perawat mutlak memberikan semua tindakan keperawatan seperti halnya menghadapi kesiapan ibu menerima bayi, petunjuk-petunjuk yang harus diikuti tentang bagaimana cara mengungkapkan dan bagaimana mengaturnya. Perawat harus berhati-hati dalam memberikan instruksi dan tidak memaksakan kehendaknya sendiri.
Apabila klien merasa tidak mampu berbuat seperti yang diperbuat oleh perawat, maka perawat harus turun langsung membantu ibu dalam melaksanakan kegiatan / tugas yang nyata (setelah pemberian demonstrasi yang penting) dan memeberi pujian untuk setiap tindakan yang tepat.
Bila ibu sudah merasakan lebih nyaman, maka ibu sudah masuk dalam tahap ke- 2 “ maternal touch”, yaitu “total hand contact” dan akhirnya pada tahap ke- 3 yang disebut “ enfolding”. Dan periode ini berlangsung selama 10 hari.

“Letting Go”
Pada fase ini klien sudah mampu merawat dirinya sendiri dan mulai disibukan oleh tanggung jawabnya sebagai ibu. Secara umum fase ini terjadi ketika ibu kembali ke rumah.
Pada fase ini ibu mengalami 2 perpisahan, yaitu :
• Mengerti dan menerima bentuh fisik dari bayinya
• Melepaskan peran ibu sebelum memiliki anak, menjadi ibu yang merawat anak.

“Post partum Blues”
Pada fase ini , terjadi perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron yang menurun, selain itu klien tidak siap dengan tugas-tugas yang harus dihadapinya. Post partum blues biasanya terjadi 6 minggu setelah melahirkan. Gejala yang tampak adalah menangis, mudah tersinggung, gangguan nafsu makan, gangguan pola tidur, dan cemas.
Bila keadaan ini berlangsung lebih dari 2 minggu dan klien tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan tugasnya, maka keadaan ini dapat menjadi serius yaitu keadaan post partum depresi.

II. Adaptasi Psikologis Ayah
Respon ayah pada masa sesudah klien melahirkan tergantung keterlibatanya selama proses persalinan, biasanya ayah akan merasa lelah, ingin selalu dekat dengan isteri dan anaknya, tetepi kadang-kadang terbentur dengan peraturan rumah sakit.

III. Adaptasi Psikologis Keluarga
Kehadiran bayi baru lahir dalam keluarga menimbulkan perubahan peran dan hubungan dalam keluarga tersebut, misalnya anak yang lebih besar menjadi kakak, orang tua menjadi kakek / nenek, suami dan isteri harus saling membagi perhatian. Bila banyak anggoata yang membantu merawat bayi, maka keadaan tidaklah sesulit dengan tidak ada yang membantu, sementara klien harus ikut aktif melibatkan diri dalam merawat bayi dan membantu rumah tangga.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bobak and Jansen (1984), Etential of Nursing. St. Louis : The CV Mosby Company
Hawkins, J.W. and Gorsine, B. (1985), Post Partum Nursing, New York: Springen
Nelson J.P. and May, K.A.(1986), Comprehensive Maternity Nursing. Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
Reeder,S.J. et al.(1983), Maternity Nursing, Philadelphia : J.B. Lippincot Company.